Rabu, 09 Juli 2014

Sahabat

SAHABAT.
Ada begitu banyak kisah dalam hal persahabatan dimuka bumi ini. Seperti yang kita tahu, bahwa setiap kisah itu pasti mempunyai lika-liku dan asam manisnya tersendiri.
Well, sama halnya dengan cinta, hubungan persahabatan harus dilandasi dengan ketulusan. Dan masih sama halnya dengan cinta, sahabat juga punya cerita tersendiri tentang apa itu yang namanya 'sejati'. Ya, ada cinta sejati, maka ada pula sahabat sejati.
Bagaimana dengan kisah persahabatan dalam hidup kalian?
Dan apa arti dari sahabat itu menurut kalian?
Hmm.. Dalam hidup gue, gue mungkin bisa bilang kalo kisah persahabatan gue ini adalah kisah terindah.. Ya, meskipun gue tau pastinya ada banyak kisah yang lebih indah daripada kisah persahabatannya gue. Tapi, berhubung gue sadar kalo setiap kisah itu punya porsi dan jalannya masing-masing.. Jadi, gue ga bisa menuntut kisah gue harus seindah apa. Tapi yang pasti, gue selalu mencoba bersyukur dalam segala suka dan duka yang melengkapi kisah persahabatan gue ini.. hehehe
Kalo arti sahabat itu sendiri, bagi gue dan dalam hidup gue, sahabat adalah hal terindah yang setiap huruf dari kata-katanya mengandung makna dan warna yang berbeda. Makna yang mampu membuat hidup gue lebih berarti bagai hujan yang turun digurun yang gersang, dan warna yang mampu membuat hidup gue ini menjadi lebih hidup dengan warna-warna yang diibaratkan seperti pelangi yang datang setelah hujan itu pergi.. Ngomong-ngomong, ucapan gue bisa dicerna kan yak? hehe Takutnya gak nyambung.. Takutnya juga kalian bingung gue ini lagi ngomongin apa.. Padahal gue udah nulis panjang-panjang coba.. Kalo hasilnya gak jelas, jadinya sedih dong gue, sakit rasanya ati, nyesek nya pake banget kan tuh.. haha abaikanlahh*
Anyway, balik lagi yuk ah..
Untuk sahabat gue tercinta, gue yakin gue bukan sahabat yang terbaik meskipun gue selalu mencoba menjadi yang terbaik untuk kalian.. hehe
Untuk itu pula, mungkin gue masih belum memenuhi syarat untuk menjadi sahabat sejati nya kalian.
Meskipun begitu, dalam persahabatan ini gue selalu mencoba melakukan segalanya dengan ketulusan.. Karena gue yakin, bahwasanya sejati itu lahir dimana ketulusan menjadi landasan utama. #wuidihh
Setuju gak? haha
Jadi, bagaimanapun juga, gue selalu melakukan yang terbaik untuk menjadi sahabat sejati kalian. Ya, setidaknya, gue bisa menjadi sosok sahabat sejati kalian, karena gue tau bahwa gue mungkin gak akan pernah bisa menjadi sahabat yang sempurna. Tapi, jujur guys, punya sahabat kaya kalian itu bagi gue udah lebih dari sempurna.. Perfecto lah..hehe
Rasanya, udah banyak banget hal yang kita lakuin bersama. Udah banyak kenangan yang terekam dan akan tersimpan di folder tersendiri di memori otak gue, pastinya. Ngomong-ngomong, banyak ya, canda tawa yang udah kita lalui bersama, meski gue mungkin gak pernah jadi orang yang bisa mengeluarkan candaan yang ngena dan pas buat diketawain, karena gue cuma bisa ikut ketawa saat kalian ketawa atau kadang gue malah satu-satunya yang gak ikut ketawa disaat kalian ngakak-ngakak gak jelas.. Ada juga duka yang dateng, dan yang kita tahu, duka itu pasti dateng sebagai pelengkap tawa yang udah dateng sebelumnya.. Banyak juga hal-hal baru yang gue dapet dari kalian..
Banyak juga khayalan yang sebenernya gue harap bisa diwujudkan bersama kalian.
Pernah gak, kalian bayangin kalo suatu hari nanti kita lagi terbang dengan balon udara bersama-sama? Melihat siapa yang paling pertama yang akan teriak takjub waktu ngeliat pemandangan bumi dibawah kita? Siapa yang bakalan ngitung jumlah kawanan burung yang terbang melewati kita? Siapa yang bakal bikin angan-angan diatas sana? Siapa yang bakal sibuk motret pemandangan atau malah asyik selfie? Siapa yang bakal teriak sekenceng-kencengnya buat ngeluarin unek-unek? Siapa yang bakal megangin snack dan minumannya? Siapa yang bakal curhat sama awan? Atau, siapa yang bakalan cuma diem aja nikmatin angin yang mungkin terasa sepoy-sepoy dan menenangkan 'baginya'?
Well, kalian pasti udah tau jawabannya..
Gak kebayang gimana nanti kita melanjutkan semua ini… Semoga semuanya tetap berjalan seperti semestinya, dan kita selalu menjadi sahabat sejati selamanya…

Jika...

Semua ini, adalah jika..
Jika kita bersama..
Bolehkah aku mengukir sejuta keinginan?
Bolehkah?
Lalu, maukah kau membantuku untuk mewujudkannya?
Maukah?

Ya, semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Bisakah kau menjadi pangeran berkuda putih?
Yang selalu datang pada saat yang tak pernah kuduga..
Bisakah?

Bisakah kau menjadi malaikat pelindung?
Yang selalu menyelamatkanku saat dimana aku sedang tersesat, takut, dan kehilangan arah..
Bisakah?

Akan aku katakan lagi..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Akankah jemari tanganmu bersedia menghapuskan air mataku?
Akankah?

Akankah bahumu itu bersedia menjadi tempatku bersandar saat aku dalam keterpurukan?
Akankah?

Akankah tubuh tegapmu bersedia menjadi tempat pertama yang menawarkanku pelukan hangat untuk menenangkanku dari segala amarah?
Akankah?

Baik, biar ku katakan lagi..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Aku ingin kau menemaniku berjalan diantara pohon sakura dan pohon maple yang berguguran..
Aku ingin kau menemaniku membuat boneka salju yang lucu, lalu memakaikannya syal, topi hangat, dan memberinya nama..
Aku ingin kita berlari bersama dibawah hujan, dan menunggu pelangi datang..
Aku ingin bernyanyi-nyanyi gila bersamamu..
Aku ingin kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam bersama..
Aku ingin kita menyaksikan bintang dilangit malam bersama..
Aku ingin kita berkenalan dengan dunia dan melakukan petualangan indah bersama..
Aku ingin kita membuat balon udara dan terbang bersama..
Aku ingin kita membuat kapal sederhana dan mengarungi samudera bersama..
Aku ingin melakukan apapun, asal bersamamu..
Ya, aku ingin..

Lebih dari itu semua..
Satu yang sangat kuharapkan adalah..
Maukah kau menjadi pemimpinku menuju jalan-Nya?
Maukah?

Maukah kau memimpin sujudku untuk sujud kepada-Nya?
Maukah?

Maukah kau menjadi satu-satunya orang yang bersedia menjadi imamku? Yang bersedia membawaku menuju surga-Nya?
Maukah?

Untuk yang terakhir kalinya, akan kuperjelas..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Aku bersedia melakukan itu semua untukmu, bersamamu..
Aku bersedia menjadi makmum mu..
Ya, aku bersedia..

My precious things




            Hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah siap untuk berangkat ke suatu acara badan amal. Ia merupakan salah satu donatur dan tamu undangan untuk mengisi acara amal yang ditujukan kepada korban bencana alam di negara tetangga.
            Dari sudut yang berbeda, diatas beberapa anak tangga dengan masih mengenakan piyama tidur serta rambut yang berantakan, aku berdiri memperhatikannya. Ya, aku memperhatikannya dengan seksama. Dia, kakakku. Kak Albern. Senyumnya yang mengembang setiap saat ataupun sorot matanya yang menunjukan seakan-akan dia berkata bahwa 'hei, ini adalah hari yang istimewa'. Aku tahu dia bahagia. Ekspresinya membuatku enggan untuk mengalihkan pandanganku. Acaranya dimulai pukul delapan. Ini masih terlalu pagi. Tapi, ia telah berkata bahwa Roger, temannya, akan menjemputnya dan mereka akan berangkat satu jam lebih awal untuk menghindari macet.
            Aku masih berdiri ditempatku. Hingga akhirnya ia melihatku dan menuntunku ke ruang makan untuk sarapan. Dua piring nasi goreng telah tersedia diatas meja makan. Dia telah menyiapkannya untuk kami berdua. Padahal ia sibuk, tapi selalu saja ia melakukannya. Aku sering merasa bersalah padanya. Sebagai adik dan satu-satunya keluarga yang ia miliki, aku belum pernah melakukan sesuatu yang bisa membuatnya bangga. Aku selalu saja menyusahkannya. Aku tak berguna. Benar-benar tak berguna.
"Kau bahagia sekali.." ucapku disela-sela makan.
"Ya, tentu. Bukankan itu harus?"
"Ya, tapi ini berbeda. Aku merasa, ini berbeda." ucapku tegang
"Apa yang berbeda?" tanya nya seraya menghentikan kegiatan makannya.
          
            Aku tidak mengucapkan apapun lagi. Semuanya terasa kaku. Sesuatu telah membawaku ke suasana yang berbeda. Rasanya otot-otot ku memerintahkanku untuk menahan rasa sesak yang muncul dengan kuatnya didada. Pun dengan otak ku yang memerintahkanku untuk tetap pada kendali. Dan hati, hatiku memerintahkanku untuk tidak sedikitpun meneteskan air mata.
            Aku mengerti. Dan aku mematuhi semua perintah itu. Hanya saja, aku tak bisa menolak diri untuk bangkit dari kursi dan memeluk bahunya erat dari arah belakang. Kuletakkan kepalaku di bahunya dari belakang. Ku biarkan sedikit saja air mata menetes karena tak kuat ku bendung.

"Jangan terlalu lama disana kak.. Rasanya, aku tidak ingin berlama-lama sendiri."
Ia mengelus tanganku yang membelenggunya mencapai dada bidangnya.
"Aku tidak akan lama. Lagipula, jangan pernah kau berbicara seolah-olah aku tidak akan kembali.."
"Tidak.. Aku tidak berbicara seperti itu kan, kak?"

            Klakson mobil berbunyi dengan keras dari luar. Perlahan, ia melepas kedua tanganku. Kemudian ia berdiri dari kursinya. Menghadap ke arahku, dan memelukku dengan erat. Sangat erat.
"Kak, I love you.." ucapku lirih
Telapak tangannya mengelus kepalaku dari belakang, lalu ia melepaskan pelukannya. Kemudian, ia menatapku dan meyakinkanku dengan isyarat mata yang menyatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Jemari tangannya menyingkirkan helaian rambut didahiku, lalu ia mengecup dahiku untuk beberapa saat yang cukup lama, namun aku merasa itu bagaikan hanya sedetik saja. Ia kemudian berlalu dan melangkahkan kakinya dengan cepat. Aku berjalan mengikutinya sampai pintu depan. Melihatnya bertegur sapa dengan Roger yang duduk di kursi kemudi, membuka pintu mobil, dan kemudian duduk disebelah Roger. Perlahan, mobil itu berlalu, kemudian melesat dengan cepat.
            Aku tahu bahasa tubuhnya, suaranya, ekspresinya. Aku tahu semua itu berbeda. Semua itu seperti bukan miliknya. Ia tak seperti dirinya. Aku merasakan sesuatu. Ini, seperti pertanda.
Aku benar- benar tidak tahan dengan kegelisahan ini. Aku harus menyusulnya.
            Segera ku ambil kunci mobilku dikamar, dan langsung bergegas ke garasi. Aku mengemudikan mobilku secepat mungkin agar tak kehilangan jejak mereka.
            Aku berusaha menyalip beberapa mobil yang menghalangiku dari mobil Roger. Ya. Dua motor dan sebuah angkutan umum. Aku berhasil. Ya, aku berhasil mendahului kendaraan-kendaraan itu. Akhirnya tepat hanya sebuah taksi di belakang mobil Roger yang kubiarkan menghalangiku untuk melindungiku dari pandangan mereka.
            Tak lama kemudian, ponselku berdering tepat didepan perempatan jalan dimana taksi didepanku berbelok dan menyisakan mobilku sendiri yang berada dibelakang mobil Roger.
            Aku meraih ponsel yang ku bawa saat mengambil kunci mobil dikamarku tadi, dari saku piyama. Namun, belum sempat aku membuka pesan masuk itu, tiba-tiba terdengar suara decitan rem kendaraan yang sangat memekakkan telinga dan diakhiri dengan ledakan besar yang mengejutkan sehingga membuatku menginjakan rem pada saat itu juga. Kembali aku memasukkan ponselku ke dalam saku piyama.
            Dan.. Kembali, aku memusatkan perhatianku ke apa yang ada didepanku. Disitulah saat dimana aku bisa membuktikan bahwa pertanda itu... adalah firasat. Mobil Roger menabrak sebuah pohon besar dipinggir jalan dan terbakar saat itu juga.
Tubuhku kaku, dingin. Aku bisa merasakan air mataku yang hangat lolos begitu saja, mengalir deras dikulit wajahku yang terasa seperti telah membeku.
           Aku keluar dari mobilku. Berusaha berlari secepat mungkin untuk menolong kakakku. Aku tak bisa membiarkan api itu memakan mobil Roger, tempat dimana kakakku sedang duduk tenang didalamnya. Aku tak bisa membiarkan kakakku terjebak ditempat yang tak semestinya. Aku tak ingin terjadi hal buruk meski ku tahu apa yang ada dihadapanku adalah hal yang lebih kejam dari sekedar hal buruk.

"Kak! Keluar, kak! Kumohon, cepat keluar kak!" teriakku sambil berlari menghampiri mobil Roger yang terasa sangat jauh untuk dicapai. Beberapa orang menahanku, dan tidak membiarkanku memberontak sedikitpun.

**

            Entah apa yang telah terjadi. Saat membuka mata, pandanganku terasa buram. Napasku berat entah karena apa. Seperti ada sesuatu yang membangunkanku dari mimpi buruk yang terasa sangat suram dan menyakitkan.
            Aku meraih ponsel dari saku piyama. Banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Zee, sahabatku. Namun, aku langsung mengabaikannya ketika melihat ada satu pesan masuk dari kak Albern diantara Semua pesan itu.

Kak Albern :
I love you too, ;-)

Aku tersenyum. Setelah ku tutup pesan itu, aku beralih membuka pesan atas nama Zee.

Zee :
Dimana kau? Aku dirumahmu.. Apa yang terjadi?

            Seketika, otakku terasa panas. Darahku mendidih bersamaan dengan jantungku yang berdetak begitu cepat. Ingatanku berputar mengulang mundur waktu menuju beberapa saat yang lalu.
Ya. Aku baru sadar apa yang terjadi. Aku juga baru sadar bahwa aku bukan sedang berada dikamarku. Ini.. Ini kamar rumah sakit dengan bau obat yang mengerikan. Dinding putih yang tinggi dan dingin ini sedang menyembunyikanku dari apa yang telah terjadi.
            Segera aku bangun dari tempat tidur itu. Melangkah keluar kamar dan mencari jalan untuk keluar dari rumah sakit ini. Sesaat kemudian, ponselku berdering. Panggilan masuk atas nama Zee, tertera dilayar ponsel.

"Halo, Zoya? Dimana kau?" seru nya dari seberang dengan sangat panik.

            Aku tak bisa berkata apa-apa saat itu. Tubuhku bergetar karena guncangan tangis yang begitu mencekat tenggorokanku. Aku sadar bahwa ini bukanlah mimpi suram, melainkan sebuah kenyataan pahit yang menyakitkan. Bahkan, ini terasa lebih pahit dari sekedar beribu-ribu obat yang ditelan secara bersamaan.
Aku masih melangkah dengan cepat melewati koridor rumah sakit dan membiarkan orang-orang memperhatikan aku yang sedang berjalan sambil menangis.

"Zoey?" ucap Zee lagi

            Aku tetap tak berkata apa-apa karena tenggorokanku benar-benar tercekat saat itu. Hingga akhirnya, sampailah aku dipintu keluar rumah sakit, dan kuputuskan untuk memasukkan ponselku kembali kedalam saku piyama. Aku berjalan menuju jalan besar untuk menghentikan taksi. Aku benar-benar kabur dari rumah sakit. Masa bodo dengan semua itu yang tidak lebih penting dari keadaan kakakku.
            Hampir saja aku sampai mencapai pinggir jalan besar didepan rumah sakit, tiba-tiba sebuah mobil yang aku yakini sebagai mobilku, datang memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti tepat didepanku. Zee. Dia yang mengemudikan mobilku.

"Ayo cepat naik!" teriaknya
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka pintu mobil dan duduk disebelah Zee.
"Zee, bagaimana dengan kakakku?" tanyaku
"Aku turut berduka cita, Zoey.." jawabnya yang terlihat sedikit ragu untuk menjawabnya saat itu juga.

          Zee mencoba menenangkan tangisku. Ia menceritakan semuanya yang telah terjadi dengan sangat hati-hati.
          Saat itu, Zee sedang berada di supermarket yang terletak di dekat perempatan jalan Edelweis. Tiba-tiba sebuah ledakan besar mengejutkan semua orang termasuk dia. Ternyata sebuah mobil sport berwarna merah menabrak sebuah pohon besar dan langsung terbakar.
         Zee segera pergi dari supermarket itu setelah membayar sebuah minuman kaleng yang ia beli, dikasir. Namun disudut yang berbeda, tak jauh dari supermarket itu, Zee melihat mobilku berada ditengah jalan dengan pintu terbuka dan kunci yang masih menggantung. Tapi dia tak berhasil menemukanku setelah beberapa kali memanggilku, dan bertanya pada orang-orang yang ada didekat situ.
            Setelah itu, ia membawa mobilku ke rumahku seraya berkali-kali menghubungiku. Namun tetap saja tak ada balasan ataupun jawaban dariku yang bisa membuatnya tenang. Dan akhirnya, Zee tahu apa yang terjadi setelah polisi datang ke rumahku. Kabar buruk itu, berita duka itupun akhirnya datang ke telinganya. Begitulah ungkapnya kurang lebih.

"Kenapa harus dia?"
"Karena Tuhan mencintainya.."
"Apa Tuhan tidak mencintaiku?"
"Zoya.."
"Aku masih ingat ekspresinya tadi pagi. Senyumnya masih melekat didalam memoriku. Dan dia berkata padaku bahwa dia bahagia. Harus bahagia.." tegasku dengan emosi tak terima yang memuncak bersamaan dengan tangis.
"Ya, mungkin karena dia tahu bahwa ini adalah waktunya.."
"Ya. Dan itu, apakah itu artinya dia bahagia untuk meninggalku? Menyakitiku? Dan tidak akan menjagaku lagi?"
"Zoya, kau harus mengerti.. Ini kehendak Tuhan.."
"Tidak, Zee. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk mengerti. Tuhan yang seharusnya lebih mengerti. Aku hanya sendiri. Dialah satu-satunya keluarga yang ku miliki."
"Tidak, Zoey. Masih banyak keluarga yang kau miliki. Banyak yang peduli padamu. Ada aku disini.. Aku akan selalu ada untukmu, Zoya.." ucap Zee mencoba menenangkanku.
"Apa kau tahu, Zee? Niatnya mulia. Dia pergi untuk acara amal.."
"Ya, aku tahu.. Dan dia pantas untuk masuk surga.."
"Apa? Jadi, apakah menurutmu dia pantas untuk mati?" seru ku membentak Zee.
"Bukan. Bukan itu maksudku. Maksudku adalah, dia orang yang baik.." ucap Zee kembali menenangkanku.
"Ya, kau benar, Zee. Dia orang yang baik. Taat pada Tuhannya. Sayang padaku, adik satu-satunya. Tapi, mengapa Tuhan menjemputnya dengan cara yang seperti ini? Aku tidak rela, Zee. Aku akan lebih rela jika Tuhan menjemputnya ditempat tidurnya yang nyaman, atau didalam pelukanku sekalipun. Yang jelas, Tuhan harus menjemputnya dengan cara yang indah yang bisa ku terima. Bukan seperti ini.. Ini kejam! Sangat kejam, Zee.." tegasku dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Zee menghentikan laju mobil. Menghapus air mataku, dan memelukku saat itu juga.
"Tenanglah Zoey. Aku tahu ini berat. Percayalah bahwa Tuhan pasti punya sesuatu yang lebih baik untukmu.." ucapnya.
            Aku sadar saat itu juga. Pelukan Zee yang hangat dan begitu menenangkan, sangat mirip dengan pelukan yang kak Albern berikan untukku.
Setelah lama tenggelam dalam pelukan Zee, aku melepasnya perlahan. Aku beruntung punya seorang sahabat seperti Zee. Tak hanya setia, dia juga sama seperti kak Albern, sangat penyayang, dan tampan..

Zee kembali mengemudikan mobil menuju tujuan kami selanjutnya.

**

            Keesokan harinya..
            Gundukan tanah merah itu masih sangat basah dan baru. Batu nisan marmer itu bertuliskan nama lengkap kakakku yang kini telah tenang di surga, Albern Dirgantara.
Langit mendung seolah-olah sedang menahan kepedihan yang sama pilunya sepertiku. Aku mencoba tegar meskipun sebenarnya aku tak kuasa menerima semua ujian ini. Seluruh kerabat dan rekan kak Albern yang datang, mereka menyampaikan belasungkawa satu-persatu kepadaku. Mereka juga menyemangati ku dengan pelukan-pelukan singkat yang begitu menenangkan. Zee, dia selalu berada disampingku. Sejak kemarin, ia menemaniku hingga bergadang dan tidak pulang ke rumahnya.
Aku tetap diam disamping pusara hingga semua pelayat benar-benar pergi meninggalkan pemakaman itu, kecuali Zee.

            Aku terdiam, membawa ingatanku ke masa silam. Air mataku mungkin sudah habis. Ya, rasanya sudah tidak ada lagi air yang dapat ku keluarkan dari mataku meski dada ini masih merasakan sesaknya yang amat sakit. Kak Albern.. Mungkin dia sudah bahagia tanpaku. Tapi, satu hal yang tak pernah bisa ku lupakan bahwa aku memiliki perasaan yang sebenarnya sulit ku pahami untuknya.
Rasa itu sudah ada sejak kami masih sama-sama tinggal di panti asuhan.
Hingga kemudian, sesuatu yang ku anggap sebagai sebuah takdir, mempersatukan aku dan kak Albern sebagai kakak-beradik kedalam sebuah keluarga kecil kaya raya yang mengangkat kami menjadi anak mereka.
Jujur. Aku bahagia. Tapi, aku juga terkekang dengan status kakak-beradik itu. Tapi rasanya, kebahagiaan kami tak berselang lama. Terlebih lagi, setelah orang tua angkat kami meninggal dalam kecelakaan pesawat. Aku dan kak Albern hanya tinggal berdua. Dan kak Albern harus bekerja keras diusia mudanya demi aku. Sampai akhirnya Tuhan kembali menunjukku sebagai tokoh utama yang harus menerima ujian ini, karena kini kak Albern pun juga ikut pergi dan meninggalkan aku sendiri.
            Dari semua itu, bukankah berarti aku selalu kehilangan orang-orang yang aku sayangi? Apakah itu artinya mereka tak ingin tinggal bersamaku? Atau, tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan untuk memiliki keluarga kecil yang utuh?
Tak pernah sepertinya aku merasakan tangan Tuhan berpihak kepadaku. Karena selalu saja aku yang harus menerima pukulan dan hantaman yang menyakitkan.

Dengan tegar, aku bangkit dari posisiku semula. Aku menghadapkan tubuhku ke arah Zee, dan tersenyum padanya.

"Terimakasih, Zee. Aku takkan sanggup melalui ini tanpamu.." ucapku.
"Jangan berkata seperti itu.." jawab Zee.
Zee menuntunku melangkah pergi meninggalkan pusara tempat terakhir kakakku tersayang.
"Kau tahu, Zee? Pelukan kak Albern itu, sama seperti pelukanmu. Menenangkan.." ucapku.
"Kalau begitu, anggaplah aku sebagai kakakmu.." ujar Zee.
"Baiklah Zee. Kau adalah kakak keduaku setelah kak Albern. Tapi, jangan pernah kau melupakan bahwa peranmu adalah sebagai sahabatku, bukan sebagai pengganti kak Albern.." ucapku tersenyum.
"Tidak akan, Zoya. Aku tidak akan menggantikan kak Albern. Aku hanya ingin membantunya menjagamu, menyayangimu, dan membuatmu tersenyum. Itu saja.." jawabnya sebelum membukakan pintu mobil untukku.
            Sampai kapanpun, kakakku yang sangat kucintai adalah kau, kak Albern, dan, sampai jumpa nanti kak.. Cepat atau lambat, aku pasti akan menyusulmu.. Hingga akhirnya kita bersama lagi..
            Dan sampai matahari enggan menyinari bumi ini, sahabat sejatiku adalah kau, Zevander Aldebaran..

Terimakasihku kepada kalian, kak Albern, dan Zee..
 Biarkan Tuhan menghantamku dengan angin kencang atau badai sekalipun, aku akan kuat demi kalian. Aku akan bertahan untuk kalian..
Biarkan rasa sakit itu bersemayam untuk saat ini, hingga kekuatan datang dengan sendirinya untuk mengikis rasa sakit itu dan menghilangkannya, serta menggantikannya dengan senyuman kemenangan diakhir nanti. Biarkan waktu berjalan dengan semestinya.
Biarkan daun yang terbang terbawa angin itu terdampar dipinggir jalan yang asing, diinjak pejalan kaki maupun dilindas roda kendaraan. Biarkan itu terjadi jika pada akhirnya akan membuat sang pohon menjadi lebih dewasa dan kokoh..

Salamku,
Zoya.

Percakapan Idiot



Moshi-moshi!
Hallo.. Kabar apa semua? Semoga baik yaa..
Guys, gue mau bahas tentang percakapan idiot antara gue dan diri gue nih.. #what??
Iya, gue dan diri gue. Hehe.. Ceritanya sih, supaya gue lebih mengenal siapa itu diri gue sebenarnya. hahaha
Jadi, ngerti kan maksudnya? Kalian semua pasti pernah kan bertanya pada diri kalian sendiri? Nah, sama. Gue juga. Nih buktinya... 

(A:gue,B:diri gue)

A: eh yu, apa sih yang paling lu suka?
B: lu pengen tau ya?
A: iya, makanya gue nanya.
B: pengen banget ya?
A: emm, biasa aja sih.
B: bagus. Kalo begitu gue bakal kasih tau. #lho?
A: dasar bego.(dalem ati) #??
B: ga usah ngomong dalem ati deh.. Lu kan tau Kita sehati.
A: ehehe, iya, sori-sori.. Terus, apa jawabannya?
B: gue suka ngayal.
A: yah yu, kalo itu mah gue juga tau. Selain itu apaan?
B: oh.. Dalem hal apa dulu?
A: Apapun..
B: dengerin baek-baek ya. Gue cuma ngomong sekali.
A: oke.
B: gue suka kucing, kuda, cokelat, mie, jeruk, semangka. Banyak deh. Lo juga pasti udah tau kan.
A: iya sih, gue udah tau.. kalo warna?
B: netral aja. Kaya coklat, abu-abu, item, putih. Tapi gue juga suka sih sedikit pink.
A: what? Oh my God! Are u serious? I can't believe it.
B: lu kenapa sih? Biasa aja kali, ga usah sampe segitunya. Kaya orang kena pup ayam aja.
A: tapi hellooo.. Sejak kapan lo suka pink?
B: sejak kapan ya? Oh iya! Sejak gue ngeliat boneka beruang warna pink di toko sebelah.
A: itu alesannya?
B: iya.
A: sumpah! Ini adalah alesan ter-idiot yang pernah gue terima.
B: betul. Ini juga alesan ter-idiot yang pernah gue nyatain.
A: nah, itulah kenapa lu jadi keliatan idiot..
B: eeitts, sori yaa. Gue ini sebenernya jenius.. Cuma, gue kan orangnya ga pamer..
#senyum tengil
A: oke. Terserah deh lu mau ngomong apa.
B: iya dong. Kan mulut mulut gue. Kalo lu gamau dengerin, gapapa kok, gue bisa ngomong sama tembok..
#masang muka melas
A: aduuh, kasiaaan. Lanjut ya, gue mau nanya lagi..
B: ih, berasa kaya artis deh di wawancarain mulu.
A: arrggh! gue yakin abis ini pasti gue muntah-muntah. Okelah, ngomong-ngomong lu suka sama musim gugur ya? Kenapa?
B: iya.. Sebenernya sih masih baru-baru ini gue suka sama musim gugurnya. Dan itu bikin gue nyesel, kenapa ga dari dulu aja.. Kenapa gue baru sadar kalo musim gugur tuh keren bangeeet..
A: oke-oke. Jangan dilanjutin. Setau gue, lu juga suka sama musim salju ya? Ko bisa?
B: iya. Kalo ini terjadi sejak gue nonton film a werewolf boy.
A: loh? Itu kan film manusia serigala. Nyambungnya sama salju apa? Kalo mau juga lu suka sama salju karena nonton film frozen. Itu baru masuk akal.
B: kok lu jadi ceramahin gue sih?
A: eh iya, sori-sori. Lanjutin jawabnya.. Hehe
B: lo tau kan? Si manusia serigala yang diumur senja-nya masih tetep awet muda itu ga punya pendamping hidup, karena wanita pujaannya yang manusia tulen yang udah jadi nenek-nenek itu pergi.. Dan akhirnya dimusim salju, si manusia serigala itu bikin boneka salju buat nemenin dia yang kesepian..
#ngapus air mata+buang ingus ditissu
A: okee.. Sumpah, itu nyentuh banget..
#ikut nangis+ buang ingus ditissu
B: ya~yaudahlah ya.. Gausah melow-melow begini.. Lu mau nanya apa lagi?
A: lu ngebet banget buat ditanya ya?
B: iya.. Kan jarang-jarang gue ditanya-tanya..
A: ouh.. Mana ada yang mau si? Yaudah, sekarang gue mau nanya tentang bintang. Lu suka bintang kan?
B: iya. Gue suka bintang. Gue pernah ngebahas tentang bintang sama seseorang. Tapi, itu masa lalu. Dan bintang adalah sesuatu yang patut dikenang.
A: ooh.. Gue harap itu bukan kisah cinta ya.. Well, apa yang lu suka lagi dari fenomena dibumi ini?
B: what?
A: maksud gue, ciptaan Tuhan..
B: oh, iya gue ngerti ko. Kan gue jenius.
A: yaudah apaan?
B: semua gue suka kok. Tapi gue lebih suka malem daripada siang. Lebih suka laut daripada daratan, hujan daripada panas.. Dan kalo fajar sama senja, gue suka dua-duanya.
A: woow.. Oke. Tentang film.. Lu suka banget sama Harry Potter ya?
B: yap. Itu film yang bener-bener bikin gue uring-uringan.
A: loh? Kok bikin uring-uringan?
B: iya. Gue uring-uringan karena pengen rasanya pindah sekolah ke Hogwarts buat jadi bagian dari sahabatnya si Harry Potter. Tapi lu tau kan? Itu ga mungkin..
A: ya lagian lu bego banget. Itu kan cuma fiksi. Ga ada didunia nyata.
B: tapi, waktu itu gue beneran ada diantara 3 orang itu. Harry, Ron, dan Hermione. Gue ngasih petunjuk ke mereka cara bikin kerak telor. Dan pas gue sadar ternyata gue jatuh dari tempat tidur..
A: ya itu artinya lu cuma mimpi kan? Dasar idiot. Ngapain lu ngajarin mereka bikin kerak telor?
B: gue rasa voldemort takut sama kerak telor. Hebat ya?
A: idiot!
B: jenius!

Dan, gue pun sampe lelah serta ga tahan buat muntah gara-gara si idiot yang gila itu. Akhirnyaa sampai disinilah percakapan idiot itu berakhir. Terimakasih untuk kalian yang udah nyempetin buat baca tulisan yang gak penting ini, hehehehe.. Sampai jumpa.. \m/ ;-)