Minggu, 03 Agustus 2014

Hati seputih salju

           Ini adalah perjalanan pertamaku menuju Pantai Louise. Pantai indah dengan sejuta keajaiban yang selalu kudambakan untuk kukunjungi.
           Bersama kakak sepupuku, Joe, dan kekasihnya, Marry, kami berangkat naik kereta api. Salah satu transportasi andalan dengan fasilitas klasiknya yang sangat mengesankan.

"jpret."
"jpret."
            Aku tersenyum ketika berhasil mengabadikan momen langka antara Joe dan Marry dengan kamera canggih milikku yang baru saja ayah berikan beberapa hari lalu, di tanggal ulang tahunku yang ke 17.
"Kau ini jail sekali, Shalom.." ucap Joe yang merasa terganggu. Namun ia tersenyum saat Marry mengelus bahunya dan berkata..
"Tidak perlu marah, Joe. Harusnya kita berterimakasih padanya." ucap Marry dengan saaangat lembut.
"Dengarkanlah ucapannya, Joe," kataku yang seketika disambut pelototan mata oleh Joe, "Baiklah, baiklah, aku akan pergi." lanjutku seraya mengerucutkan bibir.
Aku segera berbalik dan..
"brukk.." aku menabrak seseorang, atau seseorang itu menabrakku, ataukah kami memang saling bertabrakan? Entahlah, yang jelas kami sama-sama terjatuh.
"aduh.." ucapku kesakitan karena siku ku mengenai kursi kereta.
"Maaf, nona.. Maaf, aku tidak sengaja.." ucap pemuda itu seraya menyatukan kedua telapak tangannya dan menatap kosong ke arah disebelah kanannya.
"Aku disebelah kirimu.." jawabku "Oh, ya, maaf. Sekali lagi maafkan aku nona.."
"Tidak apa-apa.. Ini bukan salahmu.." tegasku
Ia tersenyum. Kemudian, ia meraba-raba lantai kereta mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" tanyaku
"Tongkatku.." jawabnya
           Jadi, dia buta? Ya Tuhan.. Sungguh, ini sangat mustahil.. Dia terlalu tampan untuk menerima kekurangan itu. Benar-benar tak kusangka. Hidung mancungnya, rambut nya yang rapi, kulit bersih, serta postur tubuh yang lumayan tinggi, kurasa dia lebih pantas jika dikenal sebagai seorang model atau aktor terkenal, dibandingkan pemuda buta yang berkeliaran dikereta dengan ransel travel dan hanya sendirian.
"Ini.." ucapku setelah membantunya mencari-cari tongkat miliknya, hingga akhirnya aku berhasil menemukannya dibawah kursi kereta.
"Terimakasih.." ucapnya.
Kami sama-sama berdiri setelah itu.
"Sekali lagi, maafkan aku.." ucapku.
           Pemuda itu hanya tersenyum menjawabku. Sorotan matanya memang kosong, tapi, percayalah bahwa senyumnya sangat hangat. Hangat sekali.
"Aku permisi.." tegas pemuda itu.
"Tunggu..!" seru Marry yang sedari tadi hanya tercengang tak percaya melihat pemuda itu, kini bangkit berdiri dari tempat duduknya di sebelah Joe-didekat jendela.
Pemuda itu tak jadi melangkahkan kakinya.
"Alan.." ucap Marry lirih dengan mata yang memerah dan mulai meneteskan airnya.
           Aku menggenggam erat kameraku yang talinya kukalungkan dileher. Hampir tertawa sebenarnya, saat aku melihat Joe yang begitu kebingungan.
"Kau Marry, bukan?" tanya pemuda itu.
"Yaa..." jawab Marry seraya menghapus airmatanya.
*
           Akhirnya, untuk sementara Joe duduk bersamaku ditempatku yang berada tiga kursi lebih depan dari tempat mereka. Joe menunggu Marry yang sedang membicarakan hal yang sepertinya amat serius bersama pemuda bernama Alan itu.
 "Hah, siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya Joe yang agak gelisah.
"Sepertinya, pemuda itu pernah menjadi orang spesial dihati Marry. Kau lihat kan? Tadi Marry menangis saat melihatnya. Mereka seperti telah lama tak bertemu. Dan Marry sepertinya amat merindukan pemuda itu.." jawabku meledek Joe seraya terus melihat-lihat hasil jpretan dikamera canggih milikku.
"Hei, kau ini menyebalkan, Shalom. Kapan kau akan berhenti meledekku?" tanya Joe seraya mengambil snack di sebelahku dan memakannya dengan sebal.
"Aku hanya bicara yang sebenarnya. Pemuda itu tampan. Jika aku benar, Marry pasti masih menyimpan perasaan padanya." ledekku lagi seraya memotret Joe yang terlihat kesal.
"Hei. Berhentilah memotretku. Lagi pula pemuda itu buta. Setampan apapun orang, kalau buta ya tetap saja buta." tegas Joe membuatku tak percaya akan perkataannya.
"Setidaknya dia tidak angkuh sepertimu, Joe. Sudahlah. Pergi sana. Tunggu saja mereka ditempat lain. Aku tidak mau tempatku ditempati oleh orang angkuh sepertimu." tegasku.
"Oh, ayolah Shalom.." rengek Joe.
"Diam kau. Kalau kau tetap ingin disini, jangan ganggu aku dengan suara rengekanmu yang menyebalkan itu, dan jangan sesekali menyentuh barang milikku." tegasku seraya mengambil snack milikku dari tangannya.
"Termasuk ini."lanjutku dengan tatapan sinis setelah berhasil merebut kembali snack milikku itu.
"Aih, kejam sekali kau, Shalom..?"
"Diam Joe!" tegasku dengan ketus.

           Huh, perjalanan yang memakan waktu lama ini menjadi menyebalkan karena ada Joe disebelahku.Tujuh jam adalah perjuangan luar biasa yang cukup membuat tubuhku lelah karena duduk terlalu lama.
          Tak kusangka, akhirnya mata ini berhasil ditaklukan oleh rasa kantuk.
Aku akan tidur, siang ini, agar saat senja nanti aku bisa terbangun untuk menikmati perjalanan senja. Dan, malamnya bisa beristirahat dipenginapan.
Well, masih enam jam lagi, karena sekarang baru jam dua siang.
*
Daaan..
Hoaaam..
           Akhirnya senja dataang.. Aku mengerjapkan mataku dan memfokuskan pandanganku. Ternyata orang angkuh itu, Joe, masih berada disampingku. Aku melihat wajahnya yang membentuk siluet karena cahaya senja yang masuk melalui jendela. Hei, tunggu dulu! Bukan Joe! Dia pemuda itu, Alan. Dia sedang tertidur pulas saat ini, disampingku. Yaampun, tampan sekali..
"jpret.." tidak sopan, bukan? Aku benar-benar tidak bisa menahan keinginanku untuk memotretnya.
Hmm.. Tapi, mengapa dia masih tetap disini? Apa mungkin dia adalah kerabat Marry, atau, Entahlah..

         Kutatap layar ponselku, dan sebuah pesan tertera atas nama Marry.
Isinya:
Shalom, maaf ya dia menempati tempat disebelahmu.. Aku kenal dengannya. Dia juga sedang dalam tujuan yang sama dengan kita, Pantai Louise. Aku ingin dia bergabung dengan kita. Terimakasih sebelumnya. Jika kau ingin tahu, aku bisa menceritakannya padamu sesampainya dipenginapan nanti.

Baiklah, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan perjalanan senja ini untuk mengabadikan pemandangan diluar yang amat fantastis.
Aku duduk didekat jendela, dan tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari tempat ini.
 Karena, sitampan ini sedang terlelap dengan kedua tangannya yang menyilang didada. Dan yang membuatku sulit untuk melangkahkan kaki keluar adalah kedua lututnya yang menyentuh bagian belakang kursi didepannya.
Oh ya Tuhan, aku terjebak.
Tapi, untunglah aku terjebak disamping pemuda tampan itu, dan bukan disamping si Joe yang angkuh.
Oke. Akhirnya, aku mengirimi Marry sms agar ada kesibukan.

Aku:
Hei, pemuda ini tampan. Tapi, dia tidur lelap sekali. Aku jadi tidak bisa berjalan-jalan keluar dari kursi. :-(

Beberapa menit kemudian, Marry membalas pesanku.

Marry:
Hahaha. You may fall in love with him..

Kami pun saling berbalas pesan saat itu.

Aku:
Ya, mungkin, tapi bagaimana kau bisa mengenalnya?

Marry:
Kami memang sudah saling mengenal sebelum aku berhubungan dengan Joe.

Aku:
Jadi, apakah dia mantan kekasihmu? Oh, yang benar saja? Aku tidak mungkin memacari mantan kekasihnya calon kaka iparku.

Marry:
Bukan. Dia bukan mantan kekasihku. Jadi kau bebas memacarinya.

Aku:
Apa kau serius? Baiklah, bisa kuterima.. Anyway, ceritakan aku, bagaimana kalian bisa saling kenal?

Marry:
Dia adalah mantan kekasih temanku..

Aku:
Oh, baiklah. Sekarang aku harus berpikir dua kali untuk memacari mantan kekasihnya teman kakak ipar ku. Tapi, mengapa kau menangis saat melihatnya tadi?

Marry:
Well, kau memang wartawan yang teliti, cantik. Aku terharu saja karena hubungannya dengan temanku harus kandas.

Aku:
Bagaimana itu bisa terjadi? Apa pemuda ini telah menyakiti temanmu?

Marry:
Tidak, Shalom. Dialah yang tersakiti. Temanku lah yang telah menghancurkan hidupnya. Aku tidak habis pikir dengan semua ini.

Aku:
Apa? Mungkin temanmu itu adalah jelmaan seorang nenek sihir atau sejenisnya. Sampai teganya menghancurkan pemuda yang tidak bisa melihat kemana arah untuk mencari tempat agar dapat menyembuhkan lukanya..

         Bergerak?
         Ah, yaampun pemuda itu sudah bangun. Aku harus bagaimana? Tenanglah, Shalom. Dia tidak akan tahu apa yang sedang kau lakukan.

"Sudah bangun, rupanya?" tanyaku dengan seribu kecanggungan.
"Maaf, aku harus mengganggumu dengan keberadaanku disini." tegasnya.
"Lebih baik kau disini, daripada kursi itu dibiarkan kosong.." ucapku sambil terus memandangnya kagum.
"Terimakasih, Shalom.." ucapnya membuatku terkejut. Ia tersenyum. Dan dia juga baru saja menyebut namaku.
"Darimana kau tahu?"tanyaku.
"Namamu? Marry. Dia telah bercerita panjang tadi."
"Benarkah?"
"Ya.. Kudengar, ini perjalanan pertamamu ke Louise?"
"Yaampun, Marry mengatakan itu juga?"
"Ya, aku pernah tinggal didekat Louise. Dan aku sering datang kepantai itu.."
"Baiklah, Marry pasti meminta kau untuk menemaniku, kan? Agar aku tidak mengganggu mereka berdua.."
"Jika kau tidak mau, kau bisa menolaknya, Shalom." tegasnya dengan tetap tersenyum.
"Tidak. Tentu aku tidak akan menolaknya, Alan.."
"Baiklah, kalau begitu besok kau akan tahu mengenai hal-hal menakjubkan di Louise."
"Ya, terimakasih, Alan." ucapku

           Ponselku bergetar, kembali aku membuka sebuah pesan masuk dari Marry.

Marry:
Kau salah, Shalom. Matanya memang tidak bisa melihat, tapi hatinya bisa melihat segalanya melalui perasaan. Kebutaan ini adalah perbuatan temanku, Shalom.

Panggilan masuk dari Marry, tertera dilayar. Mungkin, ia ingin menceritakan semuanya melalui mulutnya sendiri.. Aku memasangkan headset yang terhubung dengan ponsel ke kedua telingaku.
Aku menjawabnya..

"Bicaralah, Marry, aku akan mendengarkanmu.." ucapku pelan

"Aku tidak tahu harus mulai darimana. Dan ya, temanku, dia orang yang sangat baik yang juga sangat mencintai dan dicintai Alan. Tetapi, terjadi sebuah kecelakaan hingga membuat kedua matanya tidak lagi berfungsi. Dan Alan mendonorkan kornea nya untuk temanku. Namun, setelah semua pengorbanan itu, temanku malah mengakhiri hubungannya. Dia tidak ingin bersuamikan orang buta. Dia berubah." tegas Marry dengan lirih.

"Apa?!" seruku
"Ada apa, Shalom?" tanya pemuda itu karena mendengar suaraku yang terlalu keras.
"Ah, tidak.. Aku hanya-sedang menelepon temanku." jawabku.
"Kalau begitu, aku akan pergi dulu.."
"Tidak perlu Alan, aku sudah selesai.." jawabku mencegahnya.

Diseberang telepon, Marry menangis.

"Aku menangis bukan karena ia dicampakkan oleh temanku, atau karena dia buta, Shalom. Yang membuatku menangis adalah ketulusannya." sejenak, ia berhenti. Mungkin untuk menarik napas, dan kemudian berbicara lagi.

"Hingga saat ini, temanku tak pernah tahu bahwa yang menyembuhkan matanya adalah orang yang telah ia campakkan." ulasnya, "Alan tidak mau memberitahunya. Dia berkata padaku, jika kornea itu dapat menyelamatkan penglihatan pasangan yang akan menjadi teman hidupnya, maka seluruh hidupnya pun rela ia berikan pada pasangannya itu. Karena cinta." lanjut Marry dengan suara parau yang sangat kentara. Jika dia berada didekat Joe, aku yakin pasti ponselnya sudah direbut oleh Joe.

"Jika ada hati seputih salju, maka hati Alan adalah yang menduduki urutan teratas." tutur Marry.
"Well, ada seseorang yang ingin menggunakan toilet ini. Aku harus keluar, Shalom." tutupnya.

Wajahku basah. Aku tersadar bahwa yang telah lolos dari mataku bukan hanya setetes dua tetes air mata saja. Bahkan tenggorokanku pun terasa tercekat, sehingga membuat napasku menjadi berat.

Joe, kau harus tahu pengorbanan pemuda ini. Kau harus tahu bahwa orang yang telah kau hina karena kebutaannya, adalah orang dengan hati paling putih melebihi salju. Kau harus tahu, Joe, agar keangkuhanmu pudar.
*
Dua tahun kemudian..
Sejak pertemuan pertama dikereta menuju pantai Louise, aku menjadi semakin dekat dengan Alan.
Dan kini, kami sudah menjalin hubungan kearah yang lebih serius.
Dan, hari ini, Alan mendapatkan penglihatan barunya. Dia bisa melihat kembali karena ada seorang pendonor tanpa nama yang berhati mulia yang kini mungkin telah tenang di surga.
Terimakasih, Tuhan. Terimakasih. Aku berjanji, akan menjaga Alan dan hatinya yang lebih putih dari salju itu, untuk selamanya..

Kini, ia sudah bisa lagi menatap dunia selama milyaran tahun tanpa berkedip sekalipun..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih ya sudah membaca tulisan yang ditulis oleh orang gak jelas ini : ayu chan.. kritik dan saran akan saya terima.. silahkan beri tanggapannya yaa:)