Rabu, 09 Juli 2014

My precious things




            Hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah siap untuk berangkat ke suatu acara badan amal. Ia merupakan salah satu donatur dan tamu undangan untuk mengisi acara amal yang ditujukan kepada korban bencana alam di negara tetangga.
            Dari sudut yang berbeda, diatas beberapa anak tangga dengan masih mengenakan piyama tidur serta rambut yang berantakan, aku berdiri memperhatikannya. Ya, aku memperhatikannya dengan seksama. Dia, kakakku. Kak Albern. Senyumnya yang mengembang setiap saat ataupun sorot matanya yang menunjukan seakan-akan dia berkata bahwa 'hei, ini adalah hari yang istimewa'. Aku tahu dia bahagia. Ekspresinya membuatku enggan untuk mengalihkan pandanganku. Acaranya dimulai pukul delapan. Ini masih terlalu pagi. Tapi, ia telah berkata bahwa Roger, temannya, akan menjemputnya dan mereka akan berangkat satu jam lebih awal untuk menghindari macet.
            Aku masih berdiri ditempatku. Hingga akhirnya ia melihatku dan menuntunku ke ruang makan untuk sarapan. Dua piring nasi goreng telah tersedia diatas meja makan. Dia telah menyiapkannya untuk kami berdua. Padahal ia sibuk, tapi selalu saja ia melakukannya. Aku sering merasa bersalah padanya. Sebagai adik dan satu-satunya keluarga yang ia miliki, aku belum pernah melakukan sesuatu yang bisa membuatnya bangga. Aku selalu saja menyusahkannya. Aku tak berguna. Benar-benar tak berguna.
"Kau bahagia sekali.." ucapku disela-sela makan.
"Ya, tentu. Bukankan itu harus?"
"Ya, tapi ini berbeda. Aku merasa, ini berbeda." ucapku tegang
"Apa yang berbeda?" tanya nya seraya menghentikan kegiatan makannya.
          
            Aku tidak mengucapkan apapun lagi. Semuanya terasa kaku. Sesuatu telah membawaku ke suasana yang berbeda. Rasanya otot-otot ku memerintahkanku untuk menahan rasa sesak yang muncul dengan kuatnya didada. Pun dengan otak ku yang memerintahkanku untuk tetap pada kendali. Dan hati, hatiku memerintahkanku untuk tidak sedikitpun meneteskan air mata.
            Aku mengerti. Dan aku mematuhi semua perintah itu. Hanya saja, aku tak bisa menolak diri untuk bangkit dari kursi dan memeluk bahunya erat dari arah belakang. Kuletakkan kepalaku di bahunya dari belakang. Ku biarkan sedikit saja air mata menetes karena tak kuat ku bendung.

"Jangan terlalu lama disana kak.. Rasanya, aku tidak ingin berlama-lama sendiri."
Ia mengelus tanganku yang membelenggunya mencapai dada bidangnya.
"Aku tidak akan lama. Lagipula, jangan pernah kau berbicara seolah-olah aku tidak akan kembali.."
"Tidak.. Aku tidak berbicara seperti itu kan, kak?"

            Klakson mobil berbunyi dengan keras dari luar. Perlahan, ia melepas kedua tanganku. Kemudian ia berdiri dari kursinya. Menghadap ke arahku, dan memelukku dengan erat. Sangat erat.
"Kak, I love you.." ucapku lirih
Telapak tangannya mengelus kepalaku dari belakang, lalu ia melepaskan pelukannya. Kemudian, ia menatapku dan meyakinkanku dengan isyarat mata yang menyatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Jemari tangannya menyingkirkan helaian rambut didahiku, lalu ia mengecup dahiku untuk beberapa saat yang cukup lama, namun aku merasa itu bagaikan hanya sedetik saja. Ia kemudian berlalu dan melangkahkan kakinya dengan cepat. Aku berjalan mengikutinya sampai pintu depan. Melihatnya bertegur sapa dengan Roger yang duduk di kursi kemudi, membuka pintu mobil, dan kemudian duduk disebelah Roger. Perlahan, mobil itu berlalu, kemudian melesat dengan cepat.
            Aku tahu bahasa tubuhnya, suaranya, ekspresinya. Aku tahu semua itu berbeda. Semua itu seperti bukan miliknya. Ia tak seperti dirinya. Aku merasakan sesuatu. Ini, seperti pertanda.
Aku benar- benar tidak tahan dengan kegelisahan ini. Aku harus menyusulnya.
            Segera ku ambil kunci mobilku dikamar, dan langsung bergegas ke garasi. Aku mengemudikan mobilku secepat mungkin agar tak kehilangan jejak mereka.
            Aku berusaha menyalip beberapa mobil yang menghalangiku dari mobil Roger. Ya. Dua motor dan sebuah angkutan umum. Aku berhasil. Ya, aku berhasil mendahului kendaraan-kendaraan itu. Akhirnya tepat hanya sebuah taksi di belakang mobil Roger yang kubiarkan menghalangiku untuk melindungiku dari pandangan mereka.
            Tak lama kemudian, ponselku berdering tepat didepan perempatan jalan dimana taksi didepanku berbelok dan menyisakan mobilku sendiri yang berada dibelakang mobil Roger.
            Aku meraih ponsel yang ku bawa saat mengambil kunci mobil dikamarku tadi, dari saku piyama. Namun, belum sempat aku membuka pesan masuk itu, tiba-tiba terdengar suara decitan rem kendaraan yang sangat memekakkan telinga dan diakhiri dengan ledakan besar yang mengejutkan sehingga membuatku menginjakan rem pada saat itu juga. Kembali aku memasukkan ponselku ke dalam saku piyama.
            Dan.. Kembali, aku memusatkan perhatianku ke apa yang ada didepanku. Disitulah saat dimana aku bisa membuktikan bahwa pertanda itu... adalah firasat. Mobil Roger menabrak sebuah pohon besar dipinggir jalan dan terbakar saat itu juga.
Tubuhku kaku, dingin. Aku bisa merasakan air mataku yang hangat lolos begitu saja, mengalir deras dikulit wajahku yang terasa seperti telah membeku.
           Aku keluar dari mobilku. Berusaha berlari secepat mungkin untuk menolong kakakku. Aku tak bisa membiarkan api itu memakan mobil Roger, tempat dimana kakakku sedang duduk tenang didalamnya. Aku tak bisa membiarkan kakakku terjebak ditempat yang tak semestinya. Aku tak ingin terjadi hal buruk meski ku tahu apa yang ada dihadapanku adalah hal yang lebih kejam dari sekedar hal buruk.

"Kak! Keluar, kak! Kumohon, cepat keluar kak!" teriakku sambil berlari menghampiri mobil Roger yang terasa sangat jauh untuk dicapai. Beberapa orang menahanku, dan tidak membiarkanku memberontak sedikitpun.

**

            Entah apa yang telah terjadi. Saat membuka mata, pandanganku terasa buram. Napasku berat entah karena apa. Seperti ada sesuatu yang membangunkanku dari mimpi buruk yang terasa sangat suram dan menyakitkan.
            Aku meraih ponsel dari saku piyama. Banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Zee, sahabatku. Namun, aku langsung mengabaikannya ketika melihat ada satu pesan masuk dari kak Albern diantara Semua pesan itu.

Kak Albern :
I love you too, ;-)

Aku tersenyum. Setelah ku tutup pesan itu, aku beralih membuka pesan atas nama Zee.

Zee :
Dimana kau? Aku dirumahmu.. Apa yang terjadi?

            Seketika, otakku terasa panas. Darahku mendidih bersamaan dengan jantungku yang berdetak begitu cepat. Ingatanku berputar mengulang mundur waktu menuju beberapa saat yang lalu.
Ya. Aku baru sadar apa yang terjadi. Aku juga baru sadar bahwa aku bukan sedang berada dikamarku. Ini.. Ini kamar rumah sakit dengan bau obat yang mengerikan. Dinding putih yang tinggi dan dingin ini sedang menyembunyikanku dari apa yang telah terjadi.
            Segera aku bangun dari tempat tidur itu. Melangkah keluar kamar dan mencari jalan untuk keluar dari rumah sakit ini. Sesaat kemudian, ponselku berdering. Panggilan masuk atas nama Zee, tertera dilayar ponsel.

"Halo, Zoya? Dimana kau?" seru nya dari seberang dengan sangat panik.

            Aku tak bisa berkata apa-apa saat itu. Tubuhku bergetar karena guncangan tangis yang begitu mencekat tenggorokanku. Aku sadar bahwa ini bukanlah mimpi suram, melainkan sebuah kenyataan pahit yang menyakitkan. Bahkan, ini terasa lebih pahit dari sekedar beribu-ribu obat yang ditelan secara bersamaan.
Aku masih melangkah dengan cepat melewati koridor rumah sakit dan membiarkan orang-orang memperhatikan aku yang sedang berjalan sambil menangis.

"Zoey?" ucap Zee lagi

            Aku tetap tak berkata apa-apa karena tenggorokanku benar-benar tercekat saat itu. Hingga akhirnya, sampailah aku dipintu keluar rumah sakit, dan kuputuskan untuk memasukkan ponselku kembali kedalam saku piyama. Aku berjalan menuju jalan besar untuk menghentikan taksi. Aku benar-benar kabur dari rumah sakit. Masa bodo dengan semua itu yang tidak lebih penting dari keadaan kakakku.
            Hampir saja aku sampai mencapai pinggir jalan besar didepan rumah sakit, tiba-tiba sebuah mobil yang aku yakini sebagai mobilku, datang memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti tepat didepanku. Zee. Dia yang mengemudikan mobilku.

"Ayo cepat naik!" teriaknya
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka pintu mobil dan duduk disebelah Zee.
"Zee, bagaimana dengan kakakku?" tanyaku
"Aku turut berduka cita, Zoey.." jawabnya yang terlihat sedikit ragu untuk menjawabnya saat itu juga.

          Zee mencoba menenangkan tangisku. Ia menceritakan semuanya yang telah terjadi dengan sangat hati-hati.
          Saat itu, Zee sedang berada di supermarket yang terletak di dekat perempatan jalan Edelweis. Tiba-tiba sebuah ledakan besar mengejutkan semua orang termasuk dia. Ternyata sebuah mobil sport berwarna merah menabrak sebuah pohon besar dan langsung terbakar.
         Zee segera pergi dari supermarket itu setelah membayar sebuah minuman kaleng yang ia beli, dikasir. Namun disudut yang berbeda, tak jauh dari supermarket itu, Zee melihat mobilku berada ditengah jalan dengan pintu terbuka dan kunci yang masih menggantung. Tapi dia tak berhasil menemukanku setelah beberapa kali memanggilku, dan bertanya pada orang-orang yang ada didekat situ.
            Setelah itu, ia membawa mobilku ke rumahku seraya berkali-kali menghubungiku. Namun tetap saja tak ada balasan ataupun jawaban dariku yang bisa membuatnya tenang. Dan akhirnya, Zee tahu apa yang terjadi setelah polisi datang ke rumahku. Kabar buruk itu, berita duka itupun akhirnya datang ke telinganya. Begitulah ungkapnya kurang lebih.

"Kenapa harus dia?"
"Karena Tuhan mencintainya.."
"Apa Tuhan tidak mencintaiku?"
"Zoya.."
"Aku masih ingat ekspresinya tadi pagi. Senyumnya masih melekat didalam memoriku. Dan dia berkata padaku bahwa dia bahagia. Harus bahagia.." tegasku dengan emosi tak terima yang memuncak bersamaan dengan tangis.
"Ya, mungkin karena dia tahu bahwa ini adalah waktunya.."
"Ya. Dan itu, apakah itu artinya dia bahagia untuk meninggalku? Menyakitiku? Dan tidak akan menjagaku lagi?"
"Zoya, kau harus mengerti.. Ini kehendak Tuhan.."
"Tidak, Zee. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk mengerti. Tuhan yang seharusnya lebih mengerti. Aku hanya sendiri. Dialah satu-satunya keluarga yang ku miliki."
"Tidak, Zoey. Masih banyak keluarga yang kau miliki. Banyak yang peduli padamu. Ada aku disini.. Aku akan selalu ada untukmu, Zoya.." ucap Zee mencoba menenangkanku.
"Apa kau tahu, Zee? Niatnya mulia. Dia pergi untuk acara amal.."
"Ya, aku tahu.. Dan dia pantas untuk masuk surga.."
"Apa? Jadi, apakah menurutmu dia pantas untuk mati?" seru ku membentak Zee.
"Bukan. Bukan itu maksudku. Maksudku adalah, dia orang yang baik.." ucap Zee kembali menenangkanku.
"Ya, kau benar, Zee. Dia orang yang baik. Taat pada Tuhannya. Sayang padaku, adik satu-satunya. Tapi, mengapa Tuhan menjemputnya dengan cara yang seperti ini? Aku tidak rela, Zee. Aku akan lebih rela jika Tuhan menjemputnya ditempat tidurnya yang nyaman, atau didalam pelukanku sekalipun. Yang jelas, Tuhan harus menjemputnya dengan cara yang indah yang bisa ku terima. Bukan seperti ini.. Ini kejam! Sangat kejam, Zee.." tegasku dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Zee menghentikan laju mobil. Menghapus air mataku, dan memelukku saat itu juga.
"Tenanglah Zoey. Aku tahu ini berat. Percayalah bahwa Tuhan pasti punya sesuatu yang lebih baik untukmu.." ucapnya.
            Aku sadar saat itu juga. Pelukan Zee yang hangat dan begitu menenangkan, sangat mirip dengan pelukan yang kak Albern berikan untukku.
Setelah lama tenggelam dalam pelukan Zee, aku melepasnya perlahan. Aku beruntung punya seorang sahabat seperti Zee. Tak hanya setia, dia juga sama seperti kak Albern, sangat penyayang, dan tampan..

Zee kembali mengemudikan mobil menuju tujuan kami selanjutnya.

**

            Keesokan harinya..
            Gundukan tanah merah itu masih sangat basah dan baru. Batu nisan marmer itu bertuliskan nama lengkap kakakku yang kini telah tenang di surga, Albern Dirgantara.
Langit mendung seolah-olah sedang menahan kepedihan yang sama pilunya sepertiku. Aku mencoba tegar meskipun sebenarnya aku tak kuasa menerima semua ujian ini. Seluruh kerabat dan rekan kak Albern yang datang, mereka menyampaikan belasungkawa satu-persatu kepadaku. Mereka juga menyemangati ku dengan pelukan-pelukan singkat yang begitu menenangkan. Zee, dia selalu berada disampingku. Sejak kemarin, ia menemaniku hingga bergadang dan tidak pulang ke rumahnya.
Aku tetap diam disamping pusara hingga semua pelayat benar-benar pergi meninggalkan pemakaman itu, kecuali Zee.

            Aku terdiam, membawa ingatanku ke masa silam. Air mataku mungkin sudah habis. Ya, rasanya sudah tidak ada lagi air yang dapat ku keluarkan dari mataku meski dada ini masih merasakan sesaknya yang amat sakit. Kak Albern.. Mungkin dia sudah bahagia tanpaku. Tapi, satu hal yang tak pernah bisa ku lupakan bahwa aku memiliki perasaan yang sebenarnya sulit ku pahami untuknya.
Rasa itu sudah ada sejak kami masih sama-sama tinggal di panti asuhan.
Hingga kemudian, sesuatu yang ku anggap sebagai sebuah takdir, mempersatukan aku dan kak Albern sebagai kakak-beradik kedalam sebuah keluarga kecil kaya raya yang mengangkat kami menjadi anak mereka.
Jujur. Aku bahagia. Tapi, aku juga terkekang dengan status kakak-beradik itu. Tapi rasanya, kebahagiaan kami tak berselang lama. Terlebih lagi, setelah orang tua angkat kami meninggal dalam kecelakaan pesawat. Aku dan kak Albern hanya tinggal berdua. Dan kak Albern harus bekerja keras diusia mudanya demi aku. Sampai akhirnya Tuhan kembali menunjukku sebagai tokoh utama yang harus menerima ujian ini, karena kini kak Albern pun juga ikut pergi dan meninggalkan aku sendiri.
            Dari semua itu, bukankah berarti aku selalu kehilangan orang-orang yang aku sayangi? Apakah itu artinya mereka tak ingin tinggal bersamaku? Atau, tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan untuk memiliki keluarga kecil yang utuh?
Tak pernah sepertinya aku merasakan tangan Tuhan berpihak kepadaku. Karena selalu saja aku yang harus menerima pukulan dan hantaman yang menyakitkan.

Dengan tegar, aku bangkit dari posisiku semula. Aku menghadapkan tubuhku ke arah Zee, dan tersenyum padanya.

"Terimakasih, Zee. Aku takkan sanggup melalui ini tanpamu.." ucapku.
"Jangan berkata seperti itu.." jawab Zee.
Zee menuntunku melangkah pergi meninggalkan pusara tempat terakhir kakakku tersayang.
"Kau tahu, Zee? Pelukan kak Albern itu, sama seperti pelukanmu. Menenangkan.." ucapku.
"Kalau begitu, anggaplah aku sebagai kakakmu.." ujar Zee.
"Baiklah Zee. Kau adalah kakak keduaku setelah kak Albern. Tapi, jangan pernah kau melupakan bahwa peranmu adalah sebagai sahabatku, bukan sebagai pengganti kak Albern.." ucapku tersenyum.
"Tidak akan, Zoya. Aku tidak akan menggantikan kak Albern. Aku hanya ingin membantunya menjagamu, menyayangimu, dan membuatmu tersenyum. Itu saja.." jawabnya sebelum membukakan pintu mobil untukku.
            Sampai kapanpun, kakakku yang sangat kucintai adalah kau, kak Albern, dan, sampai jumpa nanti kak.. Cepat atau lambat, aku pasti akan menyusulmu.. Hingga akhirnya kita bersama lagi..
            Dan sampai matahari enggan menyinari bumi ini, sahabat sejatiku adalah kau, Zevander Aldebaran..

Terimakasihku kepada kalian, kak Albern, dan Zee..
 Biarkan Tuhan menghantamku dengan angin kencang atau badai sekalipun, aku akan kuat demi kalian. Aku akan bertahan untuk kalian..
Biarkan rasa sakit itu bersemayam untuk saat ini, hingga kekuatan datang dengan sendirinya untuk mengikis rasa sakit itu dan menghilangkannya, serta menggantikannya dengan senyuman kemenangan diakhir nanti. Biarkan waktu berjalan dengan semestinya.
Biarkan daun yang terbang terbawa angin itu terdampar dipinggir jalan yang asing, diinjak pejalan kaki maupun dilindas roda kendaraan. Biarkan itu terjadi jika pada akhirnya akan membuat sang pohon menjadi lebih dewasa dan kokoh..

Salamku,
Zoya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih ya sudah membaca tulisan yang ditulis oleh orang gak jelas ini : ayu chan.. kritik dan saran akan saya terima.. silahkan beri tanggapannya yaa:)