Minggu, 03 Agustus 2014

Hati seputih salju

           Ini adalah perjalanan pertamaku menuju Pantai Louise. Pantai indah dengan sejuta keajaiban yang selalu kudambakan untuk kukunjungi.
           Bersama kakak sepupuku, Joe, dan kekasihnya, Marry, kami berangkat naik kereta api. Salah satu transportasi andalan dengan fasilitas klasiknya yang sangat mengesankan.

"jpret."
"jpret."
            Aku tersenyum ketika berhasil mengabadikan momen langka antara Joe dan Marry dengan kamera canggih milikku yang baru saja ayah berikan beberapa hari lalu, di tanggal ulang tahunku yang ke 17.
"Kau ini jail sekali, Shalom.." ucap Joe yang merasa terganggu. Namun ia tersenyum saat Marry mengelus bahunya dan berkata..
"Tidak perlu marah, Joe. Harusnya kita berterimakasih padanya." ucap Marry dengan saaangat lembut.
"Dengarkanlah ucapannya, Joe," kataku yang seketika disambut pelototan mata oleh Joe, "Baiklah, baiklah, aku akan pergi." lanjutku seraya mengerucutkan bibir.
Aku segera berbalik dan..
"brukk.." aku menabrak seseorang, atau seseorang itu menabrakku, ataukah kami memang saling bertabrakan? Entahlah, yang jelas kami sama-sama terjatuh.
"aduh.." ucapku kesakitan karena siku ku mengenai kursi kereta.
"Maaf, nona.. Maaf, aku tidak sengaja.." ucap pemuda itu seraya menyatukan kedua telapak tangannya dan menatap kosong ke arah disebelah kanannya.
"Aku disebelah kirimu.." jawabku "Oh, ya, maaf. Sekali lagi maafkan aku nona.."
"Tidak apa-apa.. Ini bukan salahmu.." tegasku
Ia tersenyum. Kemudian, ia meraba-raba lantai kereta mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" tanyaku
"Tongkatku.." jawabnya
           Jadi, dia buta? Ya Tuhan.. Sungguh, ini sangat mustahil.. Dia terlalu tampan untuk menerima kekurangan itu. Benar-benar tak kusangka. Hidung mancungnya, rambut nya yang rapi, kulit bersih, serta postur tubuh yang lumayan tinggi, kurasa dia lebih pantas jika dikenal sebagai seorang model atau aktor terkenal, dibandingkan pemuda buta yang berkeliaran dikereta dengan ransel travel dan hanya sendirian.
"Ini.." ucapku setelah membantunya mencari-cari tongkat miliknya, hingga akhirnya aku berhasil menemukannya dibawah kursi kereta.
"Terimakasih.." ucapnya.
Kami sama-sama berdiri setelah itu.
"Sekali lagi, maafkan aku.." ucapku.
           Pemuda itu hanya tersenyum menjawabku. Sorotan matanya memang kosong, tapi, percayalah bahwa senyumnya sangat hangat. Hangat sekali.
"Aku permisi.." tegas pemuda itu.
"Tunggu..!" seru Marry yang sedari tadi hanya tercengang tak percaya melihat pemuda itu, kini bangkit berdiri dari tempat duduknya di sebelah Joe-didekat jendela.
Pemuda itu tak jadi melangkahkan kakinya.
"Alan.." ucap Marry lirih dengan mata yang memerah dan mulai meneteskan airnya.
           Aku menggenggam erat kameraku yang talinya kukalungkan dileher. Hampir tertawa sebenarnya, saat aku melihat Joe yang begitu kebingungan.
"Kau Marry, bukan?" tanya pemuda itu.
"Yaa..." jawab Marry seraya menghapus airmatanya.
*
           Akhirnya, untuk sementara Joe duduk bersamaku ditempatku yang berada tiga kursi lebih depan dari tempat mereka. Joe menunggu Marry yang sedang membicarakan hal yang sepertinya amat serius bersama pemuda bernama Alan itu.
 "Hah, siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya Joe yang agak gelisah.
"Sepertinya, pemuda itu pernah menjadi orang spesial dihati Marry. Kau lihat kan? Tadi Marry menangis saat melihatnya. Mereka seperti telah lama tak bertemu. Dan Marry sepertinya amat merindukan pemuda itu.." jawabku meledek Joe seraya terus melihat-lihat hasil jpretan dikamera canggih milikku.
"Hei, kau ini menyebalkan, Shalom. Kapan kau akan berhenti meledekku?" tanya Joe seraya mengambil snack di sebelahku dan memakannya dengan sebal.
"Aku hanya bicara yang sebenarnya. Pemuda itu tampan. Jika aku benar, Marry pasti masih menyimpan perasaan padanya." ledekku lagi seraya memotret Joe yang terlihat kesal.
"Hei. Berhentilah memotretku. Lagi pula pemuda itu buta. Setampan apapun orang, kalau buta ya tetap saja buta." tegas Joe membuatku tak percaya akan perkataannya.
"Setidaknya dia tidak angkuh sepertimu, Joe. Sudahlah. Pergi sana. Tunggu saja mereka ditempat lain. Aku tidak mau tempatku ditempati oleh orang angkuh sepertimu." tegasku.
"Oh, ayolah Shalom.." rengek Joe.
"Diam kau. Kalau kau tetap ingin disini, jangan ganggu aku dengan suara rengekanmu yang menyebalkan itu, dan jangan sesekali menyentuh barang milikku." tegasku seraya mengambil snack milikku dari tangannya.
"Termasuk ini."lanjutku dengan tatapan sinis setelah berhasil merebut kembali snack milikku itu.
"Aih, kejam sekali kau, Shalom..?"
"Diam Joe!" tegasku dengan ketus.

           Huh, perjalanan yang memakan waktu lama ini menjadi menyebalkan karena ada Joe disebelahku.Tujuh jam adalah perjuangan luar biasa yang cukup membuat tubuhku lelah karena duduk terlalu lama.
          Tak kusangka, akhirnya mata ini berhasil ditaklukan oleh rasa kantuk.
Aku akan tidur, siang ini, agar saat senja nanti aku bisa terbangun untuk menikmati perjalanan senja. Dan, malamnya bisa beristirahat dipenginapan.
Well, masih enam jam lagi, karena sekarang baru jam dua siang.
*
Daaan..
Hoaaam..
           Akhirnya senja dataang.. Aku mengerjapkan mataku dan memfokuskan pandanganku. Ternyata orang angkuh itu, Joe, masih berada disampingku. Aku melihat wajahnya yang membentuk siluet karena cahaya senja yang masuk melalui jendela. Hei, tunggu dulu! Bukan Joe! Dia pemuda itu, Alan. Dia sedang tertidur pulas saat ini, disampingku. Yaampun, tampan sekali..
"jpret.." tidak sopan, bukan? Aku benar-benar tidak bisa menahan keinginanku untuk memotretnya.
Hmm.. Tapi, mengapa dia masih tetap disini? Apa mungkin dia adalah kerabat Marry, atau, Entahlah..

         Kutatap layar ponselku, dan sebuah pesan tertera atas nama Marry.
Isinya:
Shalom, maaf ya dia menempati tempat disebelahmu.. Aku kenal dengannya. Dia juga sedang dalam tujuan yang sama dengan kita, Pantai Louise. Aku ingin dia bergabung dengan kita. Terimakasih sebelumnya. Jika kau ingin tahu, aku bisa menceritakannya padamu sesampainya dipenginapan nanti.

Baiklah, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan perjalanan senja ini untuk mengabadikan pemandangan diluar yang amat fantastis.
Aku duduk didekat jendela, dan tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari tempat ini.
 Karena, sitampan ini sedang terlelap dengan kedua tangannya yang menyilang didada. Dan yang membuatku sulit untuk melangkahkan kaki keluar adalah kedua lututnya yang menyentuh bagian belakang kursi didepannya.
Oh ya Tuhan, aku terjebak.
Tapi, untunglah aku terjebak disamping pemuda tampan itu, dan bukan disamping si Joe yang angkuh.
Oke. Akhirnya, aku mengirimi Marry sms agar ada kesibukan.

Aku:
Hei, pemuda ini tampan. Tapi, dia tidur lelap sekali. Aku jadi tidak bisa berjalan-jalan keluar dari kursi. :-(

Beberapa menit kemudian, Marry membalas pesanku.

Marry:
Hahaha. You may fall in love with him..

Kami pun saling berbalas pesan saat itu.

Aku:
Ya, mungkin, tapi bagaimana kau bisa mengenalnya?

Marry:
Kami memang sudah saling mengenal sebelum aku berhubungan dengan Joe.

Aku:
Jadi, apakah dia mantan kekasihmu? Oh, yang benar saja? Aku tidak mungkin memacari mantan kekasihnya calon kaka iparku.

Marry:
Bukan. Dia bukan mantan kekasihku. Jadi kau bebas memacarinya.

Aku:
Apa kau serius? Baiklah, bisa kuterima.. Anyway, ceritakan aku, bagaimana kalian bisa saling kenal?

Marry:
Dia adalah mantan kekasih temanku..

Aku:
Oh, baiklah. Sekarang aku harus berpikir dua kali untuk memacari mantan kekasihnya teman kakak ipar ku. Tapi, mengapa kau menangis saat melihatnya tadi?

Marry:
Well, kau memang wartawan yang teliti, cantik. Aku terharu saja karena hubungannya dengan temanku harus kandas.

Aku:
Bagaimana itu bisa terjadi? Apa pemuda ini telah menyakiti temanmu?

Marry:
Tidak, Shalom. Dialah yang tersakiti. Temanku lah yang telah menghancurkan hidupnya. Aku tidak habis pikir dengan semua ini.

Aku:
Apa? Mungkin temanmu itu adalah jelmaan seorang nenek sihir atau sejenisnya. Sampai teganya menghancurkan pemuda yang tidak bisa melihat kemana arah untuk mencari tempat agar dapat menyembuhkan lukanya..

         Bergerak?
         Ah, yaampun pemuda itu sudah bangun. Aku harus bagaimana? Tenanglah, Shalom. Dia tidak akan tahu apa yang sedang kau lakukan.

"Sudah bangun, rupanya?" tanyaku dengan seribu kecanggungan.
"Maaf, aku harus mengganggumu dengan keberadaanku disini." tegasnya.
"Lebih baik kau disini, daripada kursi itu dibiarkan kosong.." ucapku sambil terus memandangnya kagum.
"Terimakasih, Shalom.." ucapnya membuatku terkejut. Ia tersenyum. Dan dia juga baru saja menyebut namaku.
"Darimana kau tahu?"tanyaku.
"Namamu? Marry. Dia telah bercerita panjang tadi."
"Benarkah?"
"Ya.. Kudengar, ini perjalanan pertamamu ke Louise?"
"Yaampun, Marry mengatakan itu juga?"
"Ya, aku pernah tinggal didekat Louise. Dan aku sering datang kepantai itu.."
"Baiklah, Marry pasti meminta kau untuk menemaniku, kan? Agar aku tidak mengganggu mereka berdua.."
"Jika kau tidak mau, kau bisa menolaknya, Shalom." tegasnya dengan tetap tersenyum.
"Tidak. Tentu aku tidak akan menolaknya, Alan.."
"Baiklah, kalau begitu besok kau akan tahu mengenai hal-hal menakjubkan di Louise."
"Ya, terimakasih, Alan." ucapku

           Ponselku bergetar, kembali aku membuka sebuah pesan masuk dari Marry.

Marry:
Kau salah, Shalom. Matanya memang tidak bisa melihat, tapi hatinya bisa melihat segalanya melalui perasaan. Kebutaan ini adalah perbuatan temanku, Shalom.

Panggilan masuk dari Marry, tertera dilayar. Mungkin, ia ingin menceritakan semuanya melalui mulutnya sendiri.. Aku memasangkan headset yang terhubung dengan ponsel ke kedua telingaku.
Aku menjawabnya..

"Bicaralah, Marry, aku akan mendengarkanmu.." ucapku pelan

"Aku tidak tahu harus mulai darimana. Dan ya, temanku, dia orang yang sangat baik yang juga sangat mencintai dan dicintai Alan. Tetapi, terjadi sebuah kecelakaan hingga membuat kedua matanya tidak lagi berfungsi. Dan Alan mendonorkan kornea nya untuk temanku. Namun, setelah semua pengorbanan itu, temanku malah mengakhiri hubungannya. Dia tidak ingin bersuamikan orang buta. Dia berubah." tegas Marry dengan lirih.

"Apa?!" seruku
"Ada apa, Shalom?" tanya pemuda itu karena mendengar suaraku yang terlalu keras.
"Ah, tidak.. Aku hanya-sedang menelepon temanku." jawabku.
"Kalau begitu, aku akan pergi dulu.."
"Tidak perlu Alan, aku sudah selesai.." jawabku mencegahnya.

Diseberang telepon, Marry menangis.

"Aku menangis bukan karena ia dicampakkan oleh temanku, atau karena dia buta, Shalom. Yang membuatku menangis adalah ketulusannya." sejenak, ia berhenti. Mungkin untuk menarik napas, dan kemudian berbicara lagi.

"Hingga saat ini, temanku tak pernah tahu bahwa yang menyembuhkan matanya adalah orang yang telah ia campakkan." ulasnya, "Alan tidak mau memberitahunya. Dia berkata padaku, jika kornea itu dapat menyelamatkan penglihatan pasangan yang akan menjadi teman hidupnya, maka seluruh hidupnya pun rela ia berikan pada pasangannya itu. Karena cinta." lanjut Marry dengan suara parau yang sangat kentara. Jika dia berada didekat Joe, aku yakin pasti ponselnya sudah direbut oleh Joe.

"Jika ada hati seputih salju, maka hati Alan adalah yang menduduki urutan teratas." tutur Marry.
"Well, ada seseorang yang ingin menggunakan toilet ini. Aku harus keluar, Shalom." tutupnya.

Wajahku basah. Aku tersadar bahwa yang telah lolos dari mataku bukan hanya setetes dua tetes air mata saja. Bahkan tenggorokanku pun terasa tercekat, sehingga membuat napasku menjadi berat.

Joe, kau harus tahu pengorbanan pemuda ini. Kau harus tahu bahwa orang yang telah kau hina karena kebutaannya, adalah orang dengan hati paling putih melebihi salju. Kau harus tahu, Joe, agar keangkuhanmu pudar.
*
Dua tahun kemudian..
Sejak pertemuan pertama dikereta menuju pantai Louise, aku menjadi semakin dekat dengan Alan.
Dan kini, kami sudah menjalin hubungan kearah yang lebih serius.
Dan, hari ini, Alan mendapatkan penglihatan barunya. Dia bisa melihat kembali karena ada seorang pendonor tanpa nama yang berhati mulia yang kini mungkin telah tenang di surga.
Terimakasih, Tuhan. Terimakasih. Aku berjanji, akan menjaga Alan dan hatinya yang lebih putih dari salju itu, untuk selamanya..

Kini, ia sudah bisa lagi menatap dunia selama milyaran tahun tanpa berkedip sekalipun..

Jumat, 25 Juli 2014

Coretan Pena


Coretan pena teruntuk sahabatku..
Jika awan mendung mungkin telah kembali putih dengan diterangi semburat hangat sinar mentari, cobalah hapus air mata yang telah lolos melewati kulit wajah yang tak pernah kusentuh itu, wajah kalian..
Jika mungkin sekawanan burung yang telah kehilangan satu anggotanya saja masih bisa bersiul, aku yakin kalian juga bisa..
Jika selama ini saja aku lebih banyak diam diantara kalian, lalu apa bedanya dengan kalian tanpa aku?
Semuanya seperti tak ada yang berubah meski ada ataupun tidaknya aku..
Kalian tetap bisa tertawa meski tanpaku..
Karena aku merasa bahwa aku bukanlah sosok penting untuk kalian..
Ya, kalian tanpa aku, adalah biasa saja..
Tapi, ini berbeda jika aku tanpa kalian..
360 derajat mungkin lebih tepat untuk membandingkan perbedaannya..
Duniaku jungkir balik tanpa kalian. Aku serius, meski kalian takkan pernah mendengar ucapan itu secara langsung dari mulut diam seribu bahasaku..
Aku bisa mendengar semua cerita hidup kalian, meskipun maaf, aku tak bisa melakukan sebaliknya..
Kalian bisa menangis dihadapanku, keluarkan apa yang membuat sesak didada kalian, tapi maaf, aku tak bisa menangis di hadapan kalian..
Bukannya aku tak mau, bukannya aku ingin merahasiakan semuanya dari kalian, bukannya aku ingin membuat semua ini menjadi misterius..
Bukan karena apapun..
Tapi, aku hanya-tak bisa..
Jika seekor anak kucing yang sebatang kara saja tak pernah meneteskan airmatanya meski didalam kesendirian, lalu mengapa aku harus menangis, apalagi dihadapan kalian..
Jika seekor kunang-kunang saja tetap bisa menerangi jalannya sendiri didalam kegelapan, mengapa aku tidak? Aku bisa, sahabatku.. Aku bisa memecahkan sebuah teka teki didalam labirin maut yang gelap sekalipun. Karena aku tahu, ada Tuhan yang memanduku..
Jadi, hanya Tuhan sajalah yang bisa melihat tangisku, mendengar apa curhatku.. Hanya Tuhan..
Dan itu bukan berarti aku tak mau menghapus air mata kalian saat kalian sedih, terpuruk, dan tersakiti. Aku justru selalu ingin menjadi tangan pertama yang menghapus air mata itu. Aku juga selalu ingin menjadi bahu pertama yang bisa memberi sandaran untuk kalian. Aku juga ingin menjadi tabib pertama yang selalu mengobati sakit kalian. Tak hanya yang pertama, jika mampu, aku juga ingin menjadi yang terakhir untuk kalian. Aku ingin, tentu aku ingin, sahabatku.
Meski ini memang terdengar tidak adil. Atau kalian bisa mengartikan betapa naif nya aku yang hanya manusia biasa mencoba menanggung semuanya tanpa campur tangan siapapun kecuali tangan Tuhan.
Ini memang diriku. Sudah ada sejak aku tahu bahwa aku harus menjadi sahabat yang baik untuk sahabatku, tak peduli apakah kalian melakukan sebaliknya padaku atau tidak. Yang penting, aku bisa melakukannya untuk kalian.
Ini terdengar seperti aku adalah seekor kelinci yang rakus wortel.
Tapi, jika aku adalah kelinci itu, maka wortel itu adalah untuk kalian, sahabatku.
Aku ingin orang-orang tahu bahwa kalian adalah warna pelangi yang hadir setelah aku yang berperan sebagai hujannya telah reda.
 Aku akan dengan senang bercerita pada dunia, bahwa kalian adalah sahabat sejati yang tak bisa didapatkan hanya karena menang lotere. Tapi, ini adalah keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan padaku.
Kalian bukan sekumpulan orang kaya yang sombong, yang bersahabat hanya untuk memamerkan harta. Tapi, kalian seperti sekumpulan pahlawan yang berkumpul untuk menjalankan sebuah misi yang sama.
Namun..
Apalah arti kalimat sepanjang ini sahabatku? Apalah arti diri ini untuk sahabatku, Tuhanku?
Semua ini seperti hanya sebuah bait puisi tak bermakna. Atau janji kosong belaka. Aku merasa malu. Iba pada diriku sendiri. Aku yang berkata seperti itu. Tapi tak pernah sekalipun aku mewujudkannya.
Tuhanku, cobalah tanyakan saja pada sahabat-sahabatku. Sudahkah aku melakukannya untuk mereka? Belum. Aku memang payah. Bahkan diantara sepuluh jemari tanganku, tak ada satupun yang pernah menyentuh wajah mereka untuk menghapuskan air mata yang berlinangan. Karena, aku tak tahu bagaimana caranya. Benar-benar tak tahu, Tuhanku. Aku seperti seekor burung bisu diantara kawananku yang bersiul riang. Aku seperti daun yang jatuh kesungai dari ranting tempat dimana daun itu berkumpul dengan daun lainnya.
Aku merasa seperti seekor semut asing yang berada didaerah ku sendiri. Aku bodoh. Tapi, aku selalu penasaran untuk melakukannya. Meskipun bodoh, aku akan berusaha untuk bisa mengukir senyuman bersama sahabatku. Tak ada yang mustahil. Tapi, cukuplah sudah. Panggil saja aku si bodoh yang sedang menjalankan misi rahasia.
Salamku,
Ayu

Doa

Ibu, malam ini begitu dingin. Aku ingin memelukmu seribu tahun lagi atau bahkan lebih, jika Tuhan mengizinkan.
Aku, anakmu yang telah banyak berdosa ini, ingin menjagamu dan memberimu seluruh kehangatan yang kumiliki.
Untukmu ibu.. Manusia luar biasa dengan kasihnya yang selalu ada sepanjang masa. Bak lagu yang selalu kunyanyikan sejak dulu hingga saat ini, bagai sang surya menyinari dunia. Bu, jika kau bersedih, menangislah bu. Jangan kau tahan kesedihan itu sendiri didalam hatimu yang terlalu lembut. Biarkan aku tahu, bu. Agar aku bisa memelukmu dengan segenap cintaku. Agar sepuluh jemari tanganku bisa menghapuskan air mata kepiluan yang mengalir diwajah anggun mu yang kini telah menyesuaikan diri dengan usiamu itu, bu.
Bu, jika kau marah kepadaku, marahlah, bu. Aku tak ingin membebanimu dengan sejuta kekesalan akibat ulahku, bu.
Jika kau sendirian, biarkan aku menjadi temanmu, bu.
Jika kau kegelapan, biarkan aku menjadi lilin untuk peneranganmu.
Jika kau kedinginan, aku bersedia menjadi selimutmu, bu.
Jika kau kesakitan, aku yang akan mengobatimu sekaligus menjadi obat untuk kesembuhanmu, bu.
Aku akan melakukan segalanya, bu.

Maaf. Maaf. Maaf.
Aku adalah anak bodoh, yang selalu saja mengecewakanmu.
Maaf. Maaf. Maaf.
Akulah anak paling berdosa yang selalu melawanmu.
Maaf. Maaf. Maaf.

Ibu, tangisanku ini tak berguna.
Aku rindu masa kecilku. Masa dimana ada ibu yang menghapuskan air mata anak manja ini. Aku rindu belaian tangan itu. Aku rindu saat dimana kau memilihkan salah satu baju dari dalam lemari.
 Kemudian memakaikannya ke tubuhku. Menyisiri rambutku. Menguncirnya, mengepangnya, atau menghiasinya dengan pernak pernik anak perempuan.
Aku rindu ketika kau menyuapi ku makan. Aku rindu, bu..
Jika saja waktu mau menunggu, bu. Maka aku akan memohon padanya agar aku bisa menjadi anak kecil kesayangan ibu dalam seribu tahun lagi.
Tapi, sayangnya waktu tak mau menungguku, bu. Waktu tetap dan akan terus berjalan sebagaimana mestinya. Membawaku ke masa pertumbuhan. Dan membuat ku berubah secara berangsur-angsur menjadi gadis remaja yang mencoba tegar. Mencoba bersedia, baik dalam keadaan siap ataupun tidak.
Hanya ada doamu yang mengalir bersamaan dengan aliran darah ditubuhku.
Entah berapa tahun lagi aku bisa menjadi anak mu yang sukses meraih cita-cita yang selalu kau dukung. Aku tak pernah tahu pasti, bu. Sama halnya seperti berapa lama senyum ibu tetap bertahan untuk mengiringi langkah kehidupanku.
Semoga nanti, kau masih tetap bersedia memberi senyuman kasih mu itu untukku, bu, jika nanti aku berhasil meraih masa depan yang baik. Maka, akan kubawa engkau ke tempat yang indah. Takkan pernah sekalipun aku berhenti membahagiakanmu, bu.
Jika dulu kau yang menyisiri rambutku, maka ada waktunya aku yang melakukan itu untukmu. Menjagamu, menyuapimu, merawatmu, mencintaimu dengan sepenuh cinta.
Semoga Tuhan kita meridhoinya, bu.
Amin.
Terimakasih, ibuku..
Salamku,
Ayu..

Senin, 21 Juli 2014

Bait terakhir

Matahari memang memiliki cahaya lebih banyak daripada bintang. Tapi itu bukan berarti bintang tak berhak menunjukan cahayanya. Dan itu juga takkan membuat seseorang berhenti untuk tetap jatuh cinta pada bintang dan setitik cahayanya itu.
Dalam cinta..
Kau pernah berkata dengan penuh semangat tentang bintang. Dan aku hanya dapat menjawab santai dengan modal tak memiliki pengetahuan tentang keberadaannya dilangit.
Kau berkata, indahnya bintang mampu membuatmu tersenyum dibalik kesedihan. Mampu membuatmu tenang dalam kegelisahan. Dan yang lebih mengejutkanku lagi, adalah kau telah jatuh cinta pada bintang itu.
Entah bagaimana.. Rasanya aku sulit memahami mu.
Mengapa bintang dapat membuatmu begitu kagum terhadapnya? Padahal ia hanya berdiam memamerkan setitik cahayanya disudut langit.
Mengapa bintang dapat membuatmu tersenyum? Padahal matahari lebih sering menerangimu dan lebih pantas mendapatkan senyummu.
Mengapa bintang mampu menenangkanmu? Padahal bintang tak dapat hadir setiap saat untukmu. Tak dapat membuat lelucon konyol yang menggelitik. Tak dapat memberikan bahunya untuk menjadi sandaranmu. Tak dapat menghapuskan air matamu. Tak dapat apa-apa, karena ia hanya diam disudut langit.
Benarkan?
Dengan senyuman, ia menjawab..
Sadarkah kau?
Bintang hanya diam dilangit karena ia sudah punya seseorang untuk mewakilinya dibumi..
Sadarkah kau?
Bintang tak pernah bermaksud memamerkan cahayanya. Ia hanya ingin menunjukan bahwa ia mampu menghasilkan cahayanya sendiri tanpa bantuan matahari, meski hanya setitik.
Sadarkah kau?
Bintang mampu membuatku tersenyum, meski katamu, matahari lebih pantas mendapatkannya. Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas. Ini bukan masalah layak atau tidak layak. Tapi, ini adalah masalah dimana senyumku akan selalu ada karenanya. Dan aku, memilihnya.
Bintang bukannya tak bisa apa-apa. Ia memang hanya seperti terdiam diangkasa. Tapi, pejamkanlah matamu. Bayangkanlah setitik cahaya itu membawamu kedalam ruang yang penuh kedamaian dan impian. Coba dengarkanlah suara samar-samar mulai berdatangan menggema memenuhi sudut ruang. Dengarkan bagaimana suara-suara itu mengungkapkan harapan-harapan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Jika bintang bersedia membantu harapan-harapan itu untuk sampai ke telinga Tuhan, bukankan itu sebuah kemuliaan?
Dan.. Bukalah matamu. Langit ini bukan segitiga. Langit ini tak memiliki sudut. Dimanapun bintang berada, mereka akan menyebar dan membentuk rasi yang menakjubkan untuk dunia. Tapi, kau harus tahu, bintangku bukanlah dilangit. Bintang itu hidup dengan dunianya yang seperti tak terjamah. Terlalu rumit. Tapi ia mampu membuat lelucon konyol yang menggelitik. Terlalu jauh. Tapi ia mampu memberikan bahunya untukku bersandar, dan menghapuskan air mataku.
Jika kau ingin mendengar kalimat terakhirku, maka tunggulah pada bait terakhir catatanmu..

Apa? Aku justru merasa ini seperti lelucon. Kau tahu, aku masih ingin mencatat sedikit lagi, jadi tolong tahan dulu kalimat terakhirmu. Oke?
Ehm, ya.. Sebenarnya aku masih belum mengerti.
Ya, seperti ulat yang membutuhkan waktu agar bisa menjadi kupu-kupu sejati yang mempesona. Begitupun aku-butuh waktu.
Ya, aku butuh waktu untuk memahaminya, meski aku tak punya banyak waktu. Baiklah, aku sudahi saja semua ini. Dan, anggap saja ini sebagai akhir catatanku.
Ucapkanlah kalimat terakhirmu..

Ia menatapku, mencoba membawaku tenggelam dalam sejuta kata penasaran.
Ia pun menjawab..
"Bintangku disini, dibumi ini, dihadapanku, sedang mendengarkanku, dan memperhatikanku tanpa berkedip sedikitpun, tapi sayang.. Ia tak pernah menyadarinya.."

Bait terakhir catatanku,
Ayu..

Rabu, 09 Juli 2014

Sahabat

SAHABAT.
Ada begitu banyak kisah dalam hal persahabatan dimuka bumi ini. Seperti yang kita tahu, bahwa setiap kisah itu pasti mempunyai lika-liku dan asam manisnya tersendiri.
Well, sama halnya dengan cinta, hubungan persahabatan harus dilandasi dengan ketulusan. Dan masih sama halnya dengan cinta, sahabat juga punya cerita tersendiri tentang apa itu yang namanya 'sejati'. Ya, ada cinta sejati, maka ada pula sahabat sejati.
Bagaimana dengan kisah persahabatan dalam hidup kalian?
Dan apa arti dari sahabat itu menurut kalian?
Hmm.. Dalam hidup gue, gue mungkin bisa bilang kalo kisah persahabatan gue ini adalah kisah terindah.. Ya, meskipun gue tau pastinya ada banyak kisah yang lebih indah daripada kisah persahabatannya gue. Tapi, berhubung gue sadar kalo setiap kisah itu punya porsi dan jalannya masing-masing.. Jadi, gue ga bisa menuntut kisah gue harus seindah apa. Tapi yang pasti, gue selalu mencoba bersyukur dalam segala suka dan duka yang melengkapi kisah persahabatan gue ini.. hehehe
Kalo arti sahabat itu sendiri, bagi gue dan dalam hidup gue, sahabat adalah hal terindah yang setiap huruf dari kata-katanya mengandung makna dan warna yang berbeda. Makna yang mampu membuat hidup gue lebih berarti bagai hujan yang turun digurun yang gersang, dan warna yang mampu membuat hidup gue ini menjadi lebih hidup dengan warna-warna yang diibaratkan seperti pelangi yang datang setelah hujan itu pergi.. Ngomong-ngomong, ucapan gue bisa dicerna kan yak? hehe Takutnya gak nyambung.. Takutnya juga kalian bingung gue ini lagi ngomongin apa.. Padahal gue udah nulis panjang-panjang coba.. Kalo hasilnya gak jelas, jadinya sedih dong gue, sakit rasanya ati, nyesek nya pake banget kan tuh.. haha abaikanlahh*
Anyway, balik lagi yuk ah..
Untuk sahabat gue tercinta, gue yakin gue bukan sahabat yang terbaik meskipun gue selalu mencoba menjadi yang terbaik untuk kalian.. hehe
Untuk itu pula, mungkin gue masih belum memenuhi syarat untuk menjadi sahabat sejati nya kalian.
Meskipun begitu, dalam persahabatan ini gue selalu mencoba melakukan segalanya dengan ketulusan.. Karena gue yakin, bahwasanya sejati itu lahir dimana ketulusan menjadi landasan utama. #wuidihh
Setuju gak? haha
Jadi, bagaimanapun juga, gue selalu melakukan yang terbaik untuk menjadi sahabat sejati kalian. Ya, setidaknya, gue bisa menjadi sosok sahabat sejati kalian, karena gue tau bahwa gue mungkin gak akan pernah bisa menjadi sahabat yang sempurna. Tapi, jujur guys, punya sahabat kaya kalian itu bagi gue udah lebih dari sempurna.. Perfecto lah..hehe
Rasanya, udah banyak banget hal yang kita lakuin bersama. Udah banyak kenangan yang terekam dan akan tersimpan di folder tersendiri di memori otak gue, pastinya. Ngomong-ngomong, banyak ya, canda tawa yang udah kita lalui bersama, meski gue mungkin gak pernah jadi orang yang bisa mengeluarkan candaan yang ngena dan pas buat diketawain, karena gue cuma bisa ikut ketawa saat kalian ketawa atau kadang gue malah satu-satunya yang gak ikut ketawa disaat kalian ngakak-ngakak gak jelas.. Ada juga duka yang dateng, dan yang kita tahu, duka itu pasti dateng sebagai pelengkap tawa yang udah dateng sebelumnya.. Banyak juga hal-hal baru yang gue dapet dari kalian..
Banyak juga khayalan yang sebenernya gue harap bisa diwujudkan bersama kalian.
Pernah gak, kalian bayangin kalo suatu hari nanti kita lagi terbang dengan balon udara bersama-sama? Melihat siapa yang paling pertama yang akan teriak takjub waktu ngeliat pemandangan bumi dibawah kita? Siapa yang bakalan ngitung jumlah kawanan burung yang terbang melewati kita? Siapa yang bakal bikin angan-angan diatas sana? Siapa yang bakal sibuk motret pemandangan atau malah asyik selfie? Siapa yang bakal teriak sekenceng-kencengnya buat ngeluarin unek-unek? Siapa yang bakal megangin snack dan minumannya? Siapa yang bakal curhat sama awan? Atau, siapa yang bakalan cuma diem aja nikmatin angin yang mungkin terasa sepoy-sepoy dan menenangkan 'baginya'?
Well, kalian pasti udah tau jawabannya..
Gak kebayang gimana nanti kita melanjutkan semua ini… Semoga semuanya tetap berjalan seperti semestinya, dan kita selalu menjadi sahabat sejati selamanya…

Jika...

Semua ini, adalah jika..
Jika kita bersama..
Bolehkah aku mengukir sejuta keinginan?
Bolehkah?
Lalu, maukah kau membantuku untuk mewujudkannya?
Maukah?

Ya, semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Bisakah kau menjadi pangeran berkuda putih?
Yang selalu datang pada saat yang tak pernah kuduga..
Bisakah?

Bisakah kau menjadi malaikat pelindung?
Yang selalu menyelamatkanku saat dimana aku sedang tersesat, takut, dan kehilangan arah..
Bisakah?

Akan aku katakan lagi..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Akankah jemari tanganmu bersedia menghapuskan air mataku?
Akankah?

Akankah bahumu itu bersedia menjadi tempatku bersandar saat aku dalam keterpurukan?
Akankah?

Akankah tubuh tegapmu bersedia menjadi tempat pertama yang menawarkanku pelukan hangat untuk menenangkanku dari segala amarah?
Akankah?

Baik, biar ku katakan lagi..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Aku ingin kau menemaniku berjalan diantara pohon sakura dan pohon maple yang berguguran..
Aku ingin kau menemaniku membuat boneka salju yang lucu, lalu memakaikannya syal, topi hangat, dan memberinya nama..
Aku ingin kita berlari bersama dibawah hujan, dan menunggu pelangi datang..
Aku ingin bernyanyi-nyanyi gila bersamamu..
Aku ingin kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam bersama..
Aku ingin kita menyaksikan bintang dilangit malam bersama..
Aku ingin kita berkenalan dengan dunia dan melakukan petualangan indah bersama..
Aku ingin kita membuat balon udara dan terbang bersama..
Aku ingin kita membuat kapal sederhana dan mengarungi samudera bersama..
Aku ingin melakukan apapun, asal bersamamu..
Ya, aku ingin..

Lebih dari itu semua..
Satu yang sangat kuharapkan adalah..
Maukah kau menjadi pemimpinku menuju jalan-Nya?
Maukah?

Maukah kau memimpin sujudku untuk sujud kepada-Nya?
Maukah?

Maukah kau menjadi satu-satunya orang yang bersedia menjadi imamku? Yang bersedia membawaku menuju surga-Nya?
Maukah?

Untuk yang terakhir kalinya, akan kuperjelas..
Semua ini adalah jika..
Jika kita bersama..
Aku bersedia melakukan itu semua untukmu, bersamamu..
Aku bersedia menjadi makmum mu..
Ya, aku bersedia..

My precious things




            Hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah siap untuk berangkat ke suatu acara badan amal. Ia merupakan salah satu donatur dan tamu undangan untuk mengisi acara amal yang ditujukan kepada korban bencana alam di negara tetangga.
            Dari sudut yang berbeda, diatas beberapa anak tangga dengan masih mengenakan piyama tidur serta rambut yang berantakan, aku berdiri memperhatikannya. Ya, aku memperhatikannya dengan seksama. Dia, kakakku. Kak Albern. Senyumnya yang mengembang setiap saat ataupun sorot matanya yang menunjukan seakan-akan dia berkata bahwa 'hei, ini adalah hari yang istimewa'. Aku tahu dia bahagia. Ekspresinya membuatku enggan untuk mengalihkan pandanganku. Acaranya dimulai pukul delapan. Ini masih terlalu pagi. Tapi, ia telah berkata bahwa Roger, temannya, akan menjemputnya dan mereka akan berangkat satu jam lebih awal untuk menghindari macet.
            Aku masih berdiri ditempatku. Hingga akhirnya ia melihatku dan menuntunku ke ruang makan untuk sarapan. Dua piring nasi goreng telah tersedia diatas meja makan. Dia telah menyiapkannya untuk kami berdua. Padahal ia sibuk, tapi selalu saja ia melakukannya. Aku sering merasa bersalah padanya. Sebagai adik dan satu-satunya keluarga yang ia miliki, aku belum pernah melakukan sesuatu yang bisa membuatnya bangga. Aku selalu saja menyusahkannya. Aku tak berguna. Benar-benar tak berguna.
"Kau bahagia sekali.." ucapku disela-sela makan.
"Ya, tentu. Bukankan itu harus?"
"Ya, tapi ini berbeda. Aku merasa, ini berbeda." ucapku tegang
"Apa yang berbeda?" tanya nya seraya menghentikan kegiatan makannya.
          
            Aku tidak mengucapkan apapun lagi. Semuanya terasa kaku. Sesuatu telah membawaku ke suasana yang berbeda. Rasanya otot-otot ku memerintahkanku untuk menahan rasa sesak yang muncul dengan kuatnya didada. Pun dengan otak ku yang memerintahkanku untuk tetap pada kendali. Dan hati, hatiku memerintahkanku untuk tidak sedikitpun meneteskan air mata.
            Aku mengerti. Dan aku mematuhi semua perintah itu. Hanya saja, aku tak bisa menolak diri untuk bangkit dari kursi dan memeluk bahunya erat dari arah belakang. Kuletakkan kepalaku di bahunya dari belakang. Ku biarkan sedikit saja air mata menetes karena tak kuat ku bendung.

"Jangan terlalu lama disana kak.. Rasanya, aku tidak ingin berlama-lama sendiri."
Ia mengelus tanganku yang membelenggunya mencapai dada bidangnya.
"Aku tidak akan lama. Lagipula, jangan pernah kau berbicara seolah-olah aku tidak akan kembali.."
"Tidak.. Aku tidak berbicara seperti itu kan, kak?"

            Klakson mobil berbunyi dengan keras dari luar. Perlahan, ia melepas kedua tanganku. Kemudian ia berdiri dari kursinya. Menghadap ke arahku, dan memelukku dengan erat. Sangat erat.
"Kak, I love you.." ucapku lirih
Telapak tangannya mengelus kepalaku dari belakang, lalu ia melepaskan pelukannya. Kemudian, ia menatapku dan meyakinkanku dengan isyarat mata yang menyatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Jemari tangannya menyingkirkan helaian rambut didahiku, lalu ia mengecup dahiku untuk beberapa saat yang cukup lama, namun aku merasa itu bagaikan hanya sedetik saja. Ia kemudian berlalu dan melangkahkan kakinya dengan cepat. Aku berjalan mengikutinya sampai pintu depan. Melihatnya bertegur sapa dengan Roger yang duduk di kursi kemudi, membuka pintu mobil, dan kemudian duduk disebelah Roger. Perlahan, mobil itu berlalu, kemudian melesat dengan cepat.
            Aku tahu bahasa tubuhnya, suaranya, ekspresinya. Aku tahu semua itu berbeda. Semua itu seperti bukan miliknya. Ia tak seperti dirinya. Aku merasakan sesuatu. Ini, seperti pertanda.
Aku benar- benar tidak tahan dengan kegelisahan ini. Aku harus menyusulnya.
            Segera ku ambil kunci mobilku dikamar, dan langsung bergegas ke garasi. Aku mengemudikan mobilku secepat mungkin agar tak kehilangan jejak mereka.
            Aku berusaha menyalip beberapa mobil yang menghalangiku dari mobil Roger. Ya. Dua motor dan sebuah angkutan umum. Aku berhasil. Ya, aku berhasil mendahului kendaraan-kendaraan itu. Akhirnya tepat hanya sebuah taksi di belakang mobil Roger yang kubiarkan menghalangiku untuk melindungiku dari pandangan mereka.
            Tak lama kemudian, ponselku berdering tepat didepan perempatan jalan dimana taksi didepanku berbelok dan menyisakan mobilku sendiri yang berada dibelakang mobil Roger.
            Aku meraih ponsel yang ku bawa saat mengambil kunci mobil dikamarku tadi, dari saku piyama. Namun, belum sempat aku membuka pesan masuk itu, tiba-tiba terdengar suara decitan rem kendaraan yang sangat memekakkan telinga dan diakhiri dengan ledakan besar yang mengejutkan sehingga membuatku menginjakan rem pada saat itu juga. Kembali aku memasukkan ponselku ke dalam saku piyama.
            Dan.. Kembali, aku memusatkan perhatianku ke apa yang ada didepanku. Disitulah saat dimana aku bisa membuktikan bahwa pertanda itu... adalah firasat. Mobil Roger menabrak sebuah pohon besar dipinggir jalan dan terbakar saat itu juga.
Tubuhku kaku, dingin. Aku bisa merasakan air mataku yang hangat lolos begitu saja, mengalir deras dikulit wajahku yang terasa seperti telah membeku.
           Aku keluar dari mobilku. Berusaha berlari secepat mungkin untuk menolong kakakku. Aku tak bisa membiarkan api itu memakan mobil Roger, tempat dimana kakakku sedang duduk tenang didalamnya. Aku tak bisa membiarkan kakakku terjebak ditempat yang tak semestinya. Aku tak ingin terjadi hal buruk meski ku tahu apa yang ada dihadapanku adalah hal yang lebih kejam dari sekedar hal buruk.

"Kak! Keluar, kak! Kumohon, cepat keluar kak!" teriakku sambil berlari menghampiri mobil Roger yang terasa sangat jauh untuk dicapai. Beberapa orang menahanku, dan tidak membiarkanku memberontak sedikitpun.

**

            Entah apa yang telah terjadi. Saat membuka mata, pandanganku terasa buram. Napasku berat entah karena apa. Seperti ada sesuatu yang membangunkanku dari mimpi buruk yang terasa sangat suram dan menyakitkan.
            Aku meraih ponsel dari saku piyama. Banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Zee, sahabatku. Namun, aku langsung mengabaikannya ketika melihat ada satu pesan masuk dari kak Albern diantara Semua pesan itu.

Kak Albern :
I love you too, ;-)

Aku tersenyum. Setelah ku tutup pesan itu, aku beralih membuka pesan atas nama Zee.

Zee :
Dimana kau? Aku dirumahmu.. Apa yang terjadi?

            Seketika, otakku terasa panas. Darahku mendidih bersamaan dengan jantungku yang berdetak begitu cepat. Ingatanku berputar mengulang mundur waktu menuju beberapa saat yang lalu.
Ya. Aku baru sadar apa yang terjadi. Aku juga baru sadar bahwa aku bukan sedang berada dikamarku. Ini.. Ini kamar rumah sakit dengan bau obat yang mengerikan. Dinding putih yang tinggi dan dingin ini sedang menyembunyikanku dari apa yang telah terjadi.
            Segera aku bangun dari tempat tidur itu. Melangkah keluar kamar dan mencari jalan untuk keluar dari rumah sakit ini. Sesaat kemudian, ponselku berdering. Panggilan masuk atas nama Zee, tertera dilayar ponsel.

"Halo, Zoya? Dimana kau?" seru nya dari seberang dengan sangat panik.

            Aku tak bisa berkata apa-apa saat itu. Tubuhku bergetar karena guncangan tangis yang begitu mencekat tenggorokanku. Aku sadar bahwa ini bukanlah mimpi suram, melainkan sebuah kenyataan pahit yang menyakitkan. Bahkan, ini terasa lebih pahit dari sekedar beribu-ribu obat yang ditelan secara bersamaan.
Aku masih melangkah dengan cepat melewati koridor rumah sakit dan membiarkan orang-orang memperhatikan aku yang sedang berjalan sambil menangis.

"Zoey?" ucap Zee lagi

            Aku tetap tak berkata apa-apa karena tenggorokanku benar-benar tercekat saat itu. Hingga akhirnya, sampailah aku dipintu keluar rumah sakit, dan kuputuskan untuk memasukkan ponselku kembali kedalam saku piyama. Aku berjalan menuju jalan besar untuk menghentikan taksi. Aku benar-benar kabur dari rumah sakit. Masa bodo dengan semua itu yang tidak lebih penting dari keadaan kakakku.
            Hampir saja aku sampai mencapai pinggir jalan besar didepan rumah sakit, tiba-tiba sebuah mobil yang aku yakini sebagai mobilku, datang memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti tepat didepanku. Zee. Dia yang mengemudikan mobilku.

"Ayo cepat naik!" teriaknya
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka pintu mobil dan duduk disebelah Zee.
"Zee, bagaimana dengan kakakku?" tanyaku
"Aku turut berduka cita, Zoey.." jawabnya yang terlihat sedikit ragu untuk menjawabnya saat itu juga.

          Zee mencoba menenangkan tangisku. Ia menceritakan semuanya yang telah terjadi dengan sangat hati-hati.
          Saat itu, Zee sedang berada di supermarket yang terletak di dekat perempatan jalan Edelweis. Tiba-tiba sebuah ledakan besar mengejutkan semua orang termasuk dia. Ternyata sebuah mobil sport berwarna merah menabrak sebuah pohon besar dan langsung terbakar.
         Zee segera pergi dari supermarket itu setelah membayar sebuah minuman kaleng yang ia beli, dikasir. Namun disudut yang berbeda, tak jauh dari supermarket itu, Zee melihat mobilku berada ditengah jalan dengan pintu terbuka dan kunci yang masih menggantung. Tapi dia tak berhasil menemukanku setelah beberapa kali memanggilku, dan bertanya pada orang-orang yang ada didekat situ.
            Setelah itu, ia membawa mobilku ke rumahku seraya berkali-kali menghubungiku. Namun tetap saja tak ada balasan ataupun jawaban dariku yang bisa membuatnya tenang. Dan akhirnya, Zee tahu apa yang terjadi setelah polisi datang ke rumahku. Kabar buruk itu, berita duka itupun akhirnya datang ke telinganya. Begitulah ungkapnya kurang lebih.

"Kenapa harus dia?"
"Karena Tuhan mencintainya.."
"Apa Tuhan tidak mencintaiku?"
"Zoya.."
"Aku masih ingat ekspresinya tadi pagi. Senyumnya masih melekat didalam memoriku. Dan dia berkata padaku bahwa dia bahagia. Harus bahagia.." tegasku dengan emosi tak terima yang memuncak bersamaan dengan tangis.
"Ya, mungkin karena dia tahu bahwa ini adalah waktunya.."
"Ya. Dan itu, apakah itu artinya dia bahagia untuk meninggalku? Menyakitiku? Dan tidak akan menjagaku lagi?"
"Zoya, kau harus mengerti.. Ini kehendak Tuhan.."
"Tidak, Zee. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk mengerti. Tuhan yang seharusnya lebih mengerti. Aku hanya sendiri. Dialah satu-satunya keluarga yang ku miliki."
"Tidak, Zoey. Masih banyak keluarga yang kau miliki. Banyak yang peduli padamu. Ada aku disini.. Aku akan selalu ada untukmu, Zoya.." ucap Zee mencoba menenangkanku.
"Apa kau tahu, Zee? Niatnya mulia. Dia pergi untuk acara amal.."
"Ya, aku tahu.. Dan dia pantas untuk masuk surga.."
"Apa? Jadi, apakah menurutmu dia pantas untuk mati?" seru ku membentak Zee.
"Bukan. Bukan itu maksudku. Maksudku adalah, dia orang yang baik.." ucap Zee kembali menenangkanku.
"Ya, kau benar, Zee. Dia orang yang baik. Taat pada Tuhannya. Sayang padaku, adik satu-satunya. Tapi, mengapa Tuhan menjemputnya dengan cara yang seperti ini? Aku tidak rela, Zee. Aku akan lebih rela jika Tuhan menjemputnya ditempat tidurnya yang nyaman, atau didalam pelukanku sekalipun. Yang jelas, Tuhan harus menjemputnya dengan cara yang indah yang bisa ku terima. Bukan seperti ini.. Ini kejam! Sangat kejam, Zee.." tegasku dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Zee menghentikan laju mobil. Menghapus air mataku, dan memelukku saat itu juga.
"Tenanglah Zoey. Aku tahu ini berat. Percayalah bahwa Tuhan pasti punya sesuatu yang lebih baik untukmu.." ucapnya.
            Aku sadar saat itu juga. Pelukan Zee yang hangat dan begitu menenangkan, sangat mirip dengan pelukan yang kak Albern berikan untukku.
Setelah lama tenggelam dalam pelukan Zee, aku melepasnya perlahan. Aku beruntung punya seorang sahabat seperti Zee. Tak hanya setia, dia juga sama seperti kak Albern, sangat penyayang, dan tampan..

Zee kembali mengemudikan mobil menuju tujuan kami selanjutnya.

**

            Keesokan harinya..
            Gundukan tanah merah itu masih sangat basah dan baru. Batu nisan marmer itu bertuliskan nama lengkap kakakku yang kini telah tenang di surga, Albern Dirgantara.
Langit mendung seolah-olah sedang menahan kepedihan yang sama pilunya sepertiku. Aku mencoba tegar meskipun sebenarnya aku tak kuasa menerima semua ujian ini. Seluruh kerabat dan rekan kak Albern yang datang, mereka menyampaikan belasungkawa satu-persatu kepadaku. Mereka juga menyemangati ku dengan pelukan-pelukan singkat yang begitu menenangkan. Zee, dia selalu berada disampingku. Sejak kemarin, ia menemaniku hingga bergadang dan tidak pulang ke rumahnya.
Aku tetap diam disamping pusara hingga semua pelayat benar-benar pergi meninggalkan pemakaman itu, kecuali Zee.

            Aku terdiam, membawa ingatanku ke masa silam. Air mataku mungkin sudah habis. Ya, rasanya sudah tidak ada lagi air yang dapat ku keluarkan dari mataku meski dada ini masih merasakan sesaknya yang amat sakit. Kak Albern.. Mungkin dia sudah bahagia tanpaku. Tapi, satu hal yang tak pernah bisa ku lupakan bahwa aku memiliki perasaan yang sebenarnya sulit ku pahami untuknya.
Rasa itu sudah ada sejak kami masih sama-sama tinggal di panti asuhan.
Hingga kemudian, sesuatu yang ku anggap sebagai sebuah takdir, mempersatukan aku dan kak Albern sebagai kakak-beradik kedalam sebuah keluarga kecil kaya raya yang mengangkat kami menjadi anak mereka.
Jujur. Aku bahagia. Tapi, aku juga terkekang dengan status kakak-beradik itu. Tapi rasanya, kebahagiaan kami tak berselang lama. Terlebih lagi, setelah orang tua angkat kami meninggal dalam kecelakaan pesawat. Aku dan kak Albern hanya tinggal berdua. Dan kak Albern harus bekerja keras diusia mudanya demi aku. Sampai akhirnya Tuhan kembali menunjukku sebagai tokoh utama yang harus menerima ujian ini, karena kini kak Albern pun juga ikut pergi dan meninggalkan aku sendiri.
            Dari semua itu, bukankah berarti aku selalu kehilangan orang-orang yang aku sayangi? Apakah itu artinya mereka tak ingin tinggal bersamaku? Atau, tak pantaskah aku merasakan kebahagiaan untuk memiliki keluarga kecil yang utuh?
Tak pernah sepertinya aku merasakan tangan Tuhan berpihak kepadaku. Karena selalu saja aku yang harus menerima pukulan dan hantaman yang menyakitkan.

Dengan tegar, aku bangkit dari posisiku semula. Aku menghadapkan tubuhku ke arah Zee, dan tersenyum padanya.

"Terimakasih, Zee. Aku takkan sanggup melalui ini tanpamu.." ucapku.
"Jangan berkata seperti itu.." jawab Zee.
Zee menuntunku melangkah pergi meninggalkan pusara tempat terakhir kakakku tersayang.
"Kau tahu, Zee? Pelukan kak Albern itu, sama seperti pelukanmu. Menenangkan.." ucapku.
"Kalau begitu, anggaplah aku sebagai kakakmu.." ujar Zee.
"Baiklah Zee. Kau adalah kakak keduaku setelah kak Albern. Tapi, jangan pernah kau melupakan bahwa peranmu adalah sebagai sahabatku, bukan sebagai pengganti kak Albern.." ucapku tersenyum.
"Tidak akan, Zoya. Aku tidak akan menggantikan kak Albern. Aku hanya ingin membantunya menjagamu, menyayangimu, dan membuatmu tersenyum. Itu saja.." jawabnya sebelum membukakan pintu mobil untukku.
            Sampai kapanpun, kakakku yang sangat kucintai adalah kau, kak Albern, dan, sampai jumpa nanti kak.. Cepat atau lambat, aku pasti akan menyusulmu.. Hingga akhirnya kita bersama lagi..
            Dan sampai matahari enggan menyinari bumi ini, sahabat sejatiku adalah kau, Zevander Aldebaran..

Terimakasihku kepada kalian, kak Albern, dan Zee..
 Biarkan Tuhan menghantamku dengan angin kencang atau badai sekalipun, aku akan kuat demi kalian. Aku akan bertahan untuk kalian..
Biarkan rasa sakit itu bersemayam untuk saat ini, hingga kekuatan datang dengan sendirinya untuk mengikis rasa sakit itu dan menghilangkannya, serta menggantikannya dengan senyuman kemenangan diakhir nanti. Biarkan waktu berjalan dengan semestinya.
Biarkan daun yang terbang terbawa angin itu terdampar dipinggir jalan yang asing, diinjak pejalan kaki maupun dilindas roda kendaraan. Biarkan itu terjadi jika pada akhirnya akan membuat sang pohon menjadi lebih dewasa dan kokoh..

Salamku,
Zoya.